Sore itu Gilang
mengajakku untuk bertemunya di pesisir pantai Anyer, kali ini aku dimintanya
untuk pergi seorang diri, biasanya kekasihku Heru selalu saja menemaniku. Tapi
kali ini Gilang memintaku untuk tidak membawa seorang pun saat bertemu
dengannya. Entahlah, apa yang ingin ia bicara kan, kurasa ada sebuah rahasia
besar yang akan kudapati dari nya. Atau Gilang akan bercerita pada ku kalau dia
mulai Jatuh Cinta dengan salah satu anak baru dikantor kami yang tempo hari aku
kenalkan kepadanya. Sungguh aku tak sabar mendengar kabar berita itu.
Sosok Gilang ku
kenal sejak usiaku 15 tahun, sekarang aku sudah berusia 23 tahun. Sudah 8 tahun
kami bersahabat, walau usiaku dan gilang beda 2 tahun yang artinya Gilang lebih
tua dari ku, tapi kami sangat dekat. Gilang selalu ada untukku. Kapanpun aku
butuhkan pasti Ia akan muncul bak pahlawan kesiangan yang siap berkorban
untukku. Kalaupun aku lagi badmood dia yang menghibur ku agar senyumku tetap
terjaga untuk dunia ini. Dia cukup GILA dan Pemberani, terkadang hal bodoh dia
lakukan. Terjun dari ketinggian 100 meter pernah dia lakoni saat aku
benar-benar marah padanya karena dia mulai berbohong padaku. Itulah Gilang
sahabatku.
Dari kejauhan
aku telah melihatnya, dia berdiri tepat ditepian pantai Anyer, tanpa alas kaki.
Sebuah kemeja putih pantai, dengan lengan dilipat sampai tengkuk tangan pun
seolah menampilkan dia dalam segi imagine ku yang lumayan Tampan, karena bagiku
ketampanan nya tidak melebihi ketampanan Heru. Tatapan nya pun langsung tertuju
padaku ketika langkahku pasti kearahnya.
“Kenapa kau
tersenyum seperti itu? Ada yang aneh denganku?” Gilang tampak heran melihatku
tersenyum nakal kepadanya.
“Tidak apa,
cepatlah. Apa yang ingin kau katakana kepadaku?” tanyaku, kali ini aku berdiri
persis disampingnya.
“Tunggulah
sebentar.” Jawabnya kemudian. Tak segan-segan ia langsung duduk diatas pasir
pantai, tanpa alas. “Duduklah dulu, jangan kaku seperti itu!” Dia meraih
tanganku dan memaksaku untuk duduk.
“Gilang…! Kau
ini aneh sekali, buat apa aku kaku dengan mu. Memangnya aku sedang berhadapan
dengan siapa? Hanya seorang GILANG sahabatku yang selalu menemaniku setiap hari!
Sambil mengomel aku langsung menjatuhkan tubuhku, tepat disamping pria yang
lumayan tampan itu. “Tapi hari ini kau sedikit lebih rapih.” Papar ku, sambil
sebentar melihatnya dan membuang pandangan ku ke lautan yang sedang berada
tepat didepanku.
“Jelas dong.
Gilang…!” ucapnya kemudian, bangga menerima pujian dariku. Aku terdiam, 5 menit
telah berlalu dan sekarang hampir mendekati menit ke sepuluh. Haduhhhh lamanya
gilang ini.
“Harus menunggu
berapa lama lagi untuk ketopik permasalahanmu? Ceritalah, aku tak sabar
mendengarnya.” aku mulai memaksanya untuk bercerita.
“Tengoklah ke
arah barat mu. Kau akan temukan jawabannya.” Aku mengikuti petunjuknya.
Hatiku sesak, rasanya
mau mati saja. Tuhan!!! Kenapa kau beritahu aku berita buruk ini? Seorang
wanita berada dalam pelukan Heru. Kesetiaan ku selama lebih dari 2 tahun
ternyata tidak dihargai oleh nya, janji-janji manisnya seolah meluap dan
kembali meluber menjadi awan panas yang mengelilingi otakku. Ini Kejam dan
tidak adil bagiku. Hatiku berontak berkali-kali melihat pemandangan yang memuakkan
itu. Aku beranjak dari dudukku dan berniat menghampiri keduanya, aku ingin
mempermalukan mereka. Tapi Gilang menahanku. Dia memintaku untuk setenang
mungkin menghadapi pria semacam Heru.
“Sabarlah dulu.”
“Kenapa kau
tunjukkan hal bodoh memalukan itu kepadaku?” mataku tajam menatap Gilang.
“Karena aku tak
ingin kau terus-terusan dibodohi perasaan cinta mu terhadapnya. Aku yakin jika
ini terlalu lama aku diamkan, rasa sakitmu tidak akan lagi berjumlah 100, tapi
mungkin lebih dari 1000 kali lebih sakit,” jawabnya enteng tetapi dengan nada
yang tulus. Aku terdiam seribu bahasa, kedua nya masih saling bercanda diatas
pasir putih itu. “Sudah, ayo ikut aku!” Gilang menarikku untuk segera bangun
dari tempat dudukku.
“Mau kemana?”
tanyaku, seraya melepaskan pegangannya.
“Menemuinya,” jawabnya
tenang. Aku menutup mataku, GOD apa yang harus aku lakukan? “Cepatlah, tidak
perlu menangisi lelaki macam dia. Aku yakin sekarang kamu bisa melihat mana
yang benar. Tenang saja, aku akan berada didekatmu, untuk menjagamu pastinya” bisikknya
dengan lembut, ada penekanan saat ia berucap untuk menjagamu pastinya. Aku menyeka air mataku yang sudah
membasahi pipiku. Hempasan angin seolah memberi kekuatan penuh kepadaku.
Aku dan Gilang
pun berjalan bersama menyusuri tepian pantai, semakin dekat dan dekat pada
orang yang membuat jantungku hampir copot sekian menit tadi. Gilang menggenggam
tanganku, hangat yang kurasakan. Dia menatapku dengan tulus, matanya berbicara
dan memberiku semangat.
“Hai.
Sepertinya aku mengenalmu,” sapaku kepada kekasih bejad itu.
“Ra-nia.”
Ucapnya nyaris tak terdengar. Wajahnya pucat pasi melihat sosokku.
“Ada apa?
Seperti melihat hantu?”
“E..., e…., e….
ngggakk, sedang apa kau disini?”
“Menemui Gilang
untuk melihatmu,” kali ini aku menjawab lebih tegas. Heru bungkam, aliran
darahnya mungkin sudah berhenti sejak melihat aku.
“Kau
mengenalnya? Siapa dia? Temanmu kah?” wanita manja itu bertanya pada Heru,
tangannya terus saja dieratkan dengan Heru, kepalanya pun menempel pada lengan
atas Heru. Pemandangan yang menjijikan bagiku.
“Kenalkan aku
Rania, kekasih HERU.” Aku memperkenalkan diri kepada wanita tersebut dengan
tenang. Wanita itu pun tak percaya, matanya membulat. TERKEJUT. Itulah yang
mungkin saat ini ia rasakan. Wajah Heru tampak memerah, ia masih terdiam dan
membisu. Sebuah tamparan pun melayang di pipi nya. Wanita itu memaki Heru di
depan banyak mata. Aku dan Gilang seperti tak berdosa meninggalkan mereka yang
masih sibuk mencari alibi.
“Hebat.” Sorak
Gilang. Aku mengernyitkan dahiku. Aneh. Apanya yang hebat? “Rupanya kau lebih
jenius dariku, tanpa harus mengotori tangan mu, kau sudah membuatnya
dipermalukan ditempat umum seperti ini.”
“Siapa dulu?
Rania.” Sekarang giliran aku yang bangga.
“Apa kau merasa
sudah lebih baik?”
“Yapz. Sedikit.”
Aku tersenyum simpul, lebih tepatnya memaksa.
“Berarti masih
banyak luka yang Heru torehkan kepadamu.” Lontarnya, kedua tangannya dimasukkan
di kedua saku celananya. Kami sama-sama menatap cahaya matahari yang sedikit
demi sedikit terbenam. “Hhhh....” Gilang menarik nafas panjang. “Maaf aku telah
membuatmu sakit karena kejadian ini. Awalnya aku memang tidak percaya dengan
kekasih yang selalu kau bilang baik itu, heran setiap dua minggu sekali dia
selalu absen apel kerumah mu. Aku sudah menyelidikinya selama sebulan, ternyata
perhitungan ku matang, diminggu ini dia datang lagi dengan wanita yang pernah
kulihat sebelumnya.” Cerita Gilang, sebuah cerita dramatis untukku. “Aku tak
rela, kalau kau bertunangan dengan nya, makanya aku ingin kau melihatnya
sendiri.” Tambahnya.
“Apa kau pernah
merasakan sakit hati?” Tanyaku, tetapi mataku masih focus memperhatikan sunset
yang mulai menyentuh air laut.
“Pernah.”
Gilang menjawab dengan enteng, jawabannya seketika membuatku memalingkan
pandanganku.
“Kapan?
Sepertinya aku tak pernah tahu akan hal tersebut. Kenapa kau tidak bercerita
kepadaku.” Sederet pertanyaan siap melahap Gilang.
“Ketika aku
melihat kau jatuh cinta dengan lelaki lain selain diriku.” Sebuah pernyataan
yang membuatku termangu, menatapnya dalam dan menjadikan hatiku sebeku salju
dimusim dingin. “Aku memang tak pernah bilang kepadamu, karena aku yakin kau
tak akan percaya jika aku mengatakan semua ini. Kau tahu? Aku mulai jatuh cinta
sejak pertama kali kita bertemu, sejak ban sepeda mu bocor didepan rumahku dan
kucing mu hampir saja aku tabrak dengan sepeda motor ku. Sejak kau memarahi ku
didepan toko engkoh Amen, sejak kau mau menerimaku menjadi temanmu. Sejak dulu,
8 tahun silam.” Tutur nya, sungguh aku tak pernah menyadarinya. Matanya mulai
bergejolak membicarakan semua kenyataan yang selama ini ia tutupi.
“Mungkin kau
sedikit megalami gangguan jiwa.” Paparku. Mengelak semua kenyataan yang
dilontarkan Gilang.
“Iya, aku gila
karena aku mencintai orang yang selalu mencintai orang lain, orang yang selalu
bercerita tentang semua kekasihnya dari A sampai Z. iya aku memang GILA. Karena
rela berkorban nyawa untuk mu. Aku rela menabung demi sebuah angan mu untuk
menjadi permaisuri dihari pernikahan mu nanti, aku rela memotong uang makan ku
untuk membeli sebuah rumah mungil untuk rumah tangga kita kelak, tapi seolah
itu hanya sebuah mimpi dan keseriusan ku saja.” Keseriusan Gilang berada pada
puncaknya tapi nada bicaranya masih rendah.
“Gilang....!!!
Kau ini sengaja ya membuatku tertawa??” Aku terduduk dipasir putih, mataku
masih terpesona pada sinar ratu matahari sore ini. Gilang mengikuti gerakku.
“hehehehehe, iya,
karena aku hanya ingin melihat senyummu sepanjang hariku.”
“Wajahmu tampak
bodoh seperti itu.” Aku memperhatikan Gilang yang tampak bengong.
“Bukankah sejak
dulu aku memang bodoh?” Gilang mngiyakan ucapanku.
“Iya bodoh
karena kau diam. Kau tidak bilang apa-apa padaku.” Ada sedikit kemarahan dalam
dialogku, aku benci situasi seperti ini.
“Apa mungkin
kalau aku bilang kau akan merespon? Setiap kali aku mau bilang, kau sudah
bercerita tentang kekasihmu.”
“Ayo cepat ikut
aku.” Kali ini aku mengajaknya untuk bangkit.
“Mau kemana?”
“Temui orang
tuaku dan lamar lah aku, aku yakin mereka pasti setuju.” Sebuah keputusan yang
super cepat aku ambil, Gilang membelalakkan matanya. Tak percaya dengan apa
yang baru saja aku ucapkan. “Aku tak akn mengulang perkataanku.” Cetus ku.
Gilang segera berdiri, dia menggandengku dengan erat.
“Kau
menakjubkan!” Teriaknya, luapan emosi bahagia, senang dan haru. Tampaknya
menjadi satu didalam dirinya.
“Yaaa...mungkin
karena kau. Kau tahu? Ternyata aku sama bodohnya dengan mu. Aku selama ini
dibutakan oleh cinta, padahal aku sadar kalau cintaku itu selalu berada dekat
dengan ku.” Bisikku, Gilang memelukku erat.
Matahari pun
bersaksi hari itu, bahwa aku dan Giilang memang sudah seharusnya bersama. Sejak
pertama kali bertemu, dia memang bagaikan magnet yang selalu menempel pada
diriku. Aku bahagia karenanya, aku mencintainya, sungguh benar-benar
mencintainya.
Depok, 19 Juli 2011