Rabu, 02 Januari 2013

Cinta itu dekat


Sore itu Gilang mengajakku untuk bertemunya di pesisir pantai Anyer, kali ini aku dimintanya untuk pergi seorang diri, biasanya kekasihku Heru selalu saja menemaniku. Tapi kali ini Gilang memintaku untuk tidak membawa seorang pun saat bertemu dengannya. Entahlah, apa yang ingin ia bicara kan, kurasa ada sebuah rahasia besar yang akan kudapati dari nya. Atau Gilang akan bercerita pada ku kalau dia mulai Jatuh Cinta dengan salah satu anak baru dikantor kami yang tempo hari aku kenalkan kepadanya. Sungguh aku tak sabar mendengar kabar berita itu.
Sosok Gilang ku kenal sejak usiaku 15 tahun, sekarang aku sudah berusia 23 tahun. Sudah 8 tahun kami bersahabat, walau usiaku dan gilang beda 2 tahun yang artinya Gilang lebih tua dari ku, tapi kami sangat dekat. Gilang selalu ada untukku. Kapanpun aku butuhkan pasti Ia akan muncul bak pahlawan kesiangan yang siap berkorban untukku. Kalaupun aku lagi badmood dia yang menghibur ku agar senyumku tetap terjaga untuk dunia ini. Dia cukup GILA dan Pemberani, terkadang hal bodoh dia lakukan. Terjun dari ketinggian 100 meter pernah dia lakoni saat aku benar-benar marah padanya karena dia mulai berbohong padaku. Itulah Gilang sahabatku.
Dari kejauhan aku telah melihatnya, dia berdiri tepat ditepian pantai Anyer, tanpa alas kaki. Sebuah kemeja putih pantai, dengan lengan dilipat sampai tengkuk tangan pun seolah menampilkan dia dalam segi imagine ku yang lumayan Tampan, karena bagiku ketampanan nya tidak melebihi ketampanan Heru. Tatapan nya pun langsung tertuju padaku ketika langkahku pasti kearahnya.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Ada yang aneh denganku?” Gilang tampak heran melihatku tersenyum nakal kepadanya.
“Tidak apa, cepatlah. Apa yang ingin kau katakana kepadaku?” tanyaku, kali ini aku berdiri persis disampingnya.
“Tunggulah sebentar.” Jawabnya kemudian. Tak segan-segan ia langsung duduk diatas pasir pantai, tanpa alas. “Duduklah dulu, jangan kaku seperti itu!” Dia meraih tanganku dan memaksaku untuk duduk.
“Gilang…! Kau ini aneh sekali, buat apa aku kaku dengan mu. Memangnya aku sedang berhadapan dengan siapa? Hanya seorang GILANG sahabatku yang selalu menemaniku setiap hari! Sambil mengomel aku langsung menjatuhkan tubuhku, tepat disamping pria yang lumayan tampan itu. “Tapi hari ini kau sedikit lebih rapih.” Papar ku, sambil sebentar melihatnya dan membuang pandangan ku ke lautan yang sedang berada tepat didepanku.
“Jelas dong. Gilang…!” ucapnya kemudian, bangga menerima pujian dariku. Aku terdiam, 5 menit telah berlalu dan sekarang hampir mendekati menit ke sepuluh. Haduhhhh lamanya gilang ini.
“Harus menunggu berapa lama lagi untuk ketopik permasalahanmu? Ceritalah, aku tak sabar mendengarnya.” aku mulai memaksanya untuk bercerita.
“Tengoklah ke arah barat mu. Kau akan temukan jawabannya.” Aku mengikuti petunjuknya.
Hatiku sesak, rasanya mau mati saja. Tuhan!!! Kenapa kau beritahu aku berita buruk ini? Seorang wanita berada dalam pelukan Heru. Kesetiaan ku selama lebih dari 2 tahun ternyata tidak dihargai oleh nya, janji-janji manisnya seolah meluap dan kembali meluber menjadi awan panas yang mengelilingi otakku. Ini Kejam dan tidak adil bagiku. Hatiku berontak berkali-kali melihat pemandangan yang memuakkan itu. Aku beranjak dari dudukku dan berniat menghampiri keduanya, aku ingin mempermalukan mereka. Tapi Gilang menahanku. Dia memintaku untuk setenang mungkin menghadapi pria semacam Heru.
“Sabarlah dulu.”
“Kenapa kau tunjukkan hal bodoh memalukan itu kepadaku?” mataku tajam menatap Gilang.
“Karena aku tak ingin kau terus-terusan dibodohi perasaan cinta mu terhadapnya. Aku yakin jika ini terlalu lama aku diamkan, rasa sakitmu tidak akan lagi berjumlah 100, tapi mungkin lebih dari 1000 kali lebih sakit,” jawabnya enteng tetapi dengan nada yang tulus. Aku terdiam seribu bahasa, kedua nya masih saling bercanda diatas pasir putih itu. “Sudah, ayo ikut aku!” Gilang menarikku untuk segera bangun dari tempat dudukku.
“Mau kemana?” tanyaku, seraya melepaskan pegangannya.
“Menemuinya,” jawabnya tenang. Aku menutup mataku, GOD apa yang harus aku lakukan? “Cepatlah, tidak perlu menangisi lelaki macam dia. Aku yakin sekarang kamu bisa melihat mana yang benar. Tenang saja, aku akan berada didekatmu, untuk menjagamu pastinya” bisikknya dengan lembut, ada penekanan saat ia berucap untuk menjagamu pastinya. Aku menyeka air mataku yang sudah membasahi pipiku. Hempasan angin seolah memberi kekuatan penuh kepadaku.
Aku dan Gilang pun berjalan bersama menyusuri tepian pantai, semakin dekat dan dekat pada orang yang membuat jantungku hampir copot sekian menit tadi. Gilang menggenggam tanganku, hangat yang kurasakan. Dia menatapku dengan tulus, matanya berbicara dan memberiku semangat.
“Hai. Sepertinya aku mengenalmu,” sapaku kepada kekasih bejad itu.
“Ra-nia.” Ucapnya nyaris tak terdengar. Wajahnya pucat pasi melihat sosokku.
“Ada apa? Seperti melihat hantu?”
“E..., e…., e…. ngggakk, sedang apa kau disini?”
“Menemui Gilang untuk melihatmu,” kali ini aku menjawab lebih tegas. Heru bungkam, aliran darahnya mungkin sudah berhenti sejak melihat aku.
“Kau mengenalnya? Siapa dia? Temanmu kah?” wanita manja itu bertanya pada Heru, tangannya terus saja dieratkan dengan Heru, kepalanya pun menempel pada lengan atas Heru. Pemandangan yang menjijikan bagiku.
“Kenalkan aku Rania, kekasih HERU.” Aku memperkenalkan diri kepada wanita tersebut dengan tenang. Wanita itu pun tak percaya, matanya membulat. TERKEJUT. Itulah yang mungkin saat ini ia rasakan. Wajah Heru tampak memerah, ia masih terdiam dan membisu. Sebuah tamparan pun melayang di pipi nya. Wanita itu memaki Heru di depan banyak mata. Aku dan Gilang seperti tak berdosa meninggalkan mereka yang masih sibuk mencari alibi.
“Hebat.” Sorak Gilang. Aku mengernyitkan dahiku. Aneh. Apanya yang hebat? “Rupanya kau lebih jenius dariku, tanpa harus mengotori tangan mu, kau sudah membuatnya dipermalukan ditempat umum seperti ini.”
“Siapa dulu? Rania.” Sekarang giliran aku yang bangga.
“Apa kau merasa sudah lebih baik?”
“Yapz. Sedikit.” Aku tersenyum simpul, lebih tepatnya memaksa.
“Berarti masih banyak luka yang Heru torehkan kepadamu.” Lontarnya, kedua tangannya dimasukkan di kedua saku celananya. Kami sama-sama menatap cahaya matahari yang sedikit demi sedikit terbenam. “Hhhh....” Gilang menarik nafas panjang. “Maaf aku telah membuatmu sakit karena kejadian ini. Awalnya aku memang tidak percaya dengan kekasih yang selalu kau bilang baik itu, heran setiap dua minggu sekali dia selalu absen apel kerumah mu. Aku sudah menyelidikinya selama sebulan, ternyata perhitungan ku matang, diminggu ini dia datang lagi dengan wanita yang pernah kulihat sebelumnya.” Cerita Gilang, sebuah cerita dramatis untukku. “Aku tak rela, kalau kau bertunangan dengan nya, makanya aku ingin kau melihatnya sendiri.” Tambahnya.
“Apa kau pernah merasakan sakit hati?” Tanyaku, tetapi mataku masih focus memperhatikan sunset yang mulai menyentuh air laut.
“Pernah.” Gilang menjawab dengan enteng, jawabannya seketika membuatku memalingkan pandanganku.
“Kapan? Sepertinya aku tak pernah tahu akan hal tersebut. Kenapa kau tidak bercerita kepadaku.” Sederet pertanyaan siap melahap Gilang.
“Ketika aku melihat kau jatuh cinta dengan lelaki lain selain diriku.” Sebuah pernyataan yang membuatku termangu, menatapnya dalam dan menjadikan hatiku sebeku salju dimusim dingin. “Aku memang tak pernah bilang kepadamu, karena aku yakin kau tak akan percaya jika aku mengatakan semua ini. Kau tahu? Aku mulai jatuh cinta sejak pertama kali kita bertemu, sejak ban sepeda mu bocor didepan rumahku dan kucing mu hampir saja aku tabrak dengan sepeda motor ku. Sejak kau memarahi ku didepan toko engkoh Amen, sejak kau mau menerimaku menjadi temanmu. Sejak dulu, 8 tahun silam.” Tutur nya, sungguh aku tak pernah menyadarinya. Matanya mulai bergejolak membicarakan semua kenyataan yang selama ini ia tutupi.
“Mungkin kau sedikit megalami gangguan jiwa.” Paparku. Mengelak semua kenyataan yang dilontarkan Gilang.
“Iya, aku gila karena aku mencintai orang yang selalu mencintai orang lain, orang yang selalu bercerita tentang semua kekasihnya dari A sampai Z. iya aku memang GILA. Karena rela berkorban nyawa untuk mu. Aku rela menabung demi sebuah angan mu untuk menjadi permaisuri dihari pernikahan mu nanti, aku rela memotong uang makan ku untuk membeli sebuah rumah mungil untuk rumah tangga kita kelak, tapi seolah itu hanya sebuah mimpi dan keseriusan ku saja.” Keseriusan Gilang berada pada puncaknya tapi nada bicaranya masih rendah.
“Gilang....!!! Kau ini sengaja ya membuatku tertawa??” Aku terduduk dipasir putih, mataku masih terpesona pada sinar ratu matahari sore ini. Gilang mengikuti gerakku.
“hehehehehe, iya, karena aku hanya ingin melihat senyummu sepanjang hariku.”
“Wajahmu tampak bodoh seperti itu.” Aku memperhatikan Gilang yang tampak bengong.
“Bukankah sejak dulu aku memang bodoh?” Gilang mngiyakan ucapanku.
“Iya bodoh karena kau diam. Kau tidak bilang apa-apa padaku.” Ada sedikit kemarahan dalam dialogku, aku benci situasi seperti ini.
“Apa mungkin kalau aku bilang kau akan merespon? Setiap kali aku mau bilang, kau sudah bercerita tentang kekasihmu.”
“Ayo cepat ikut aku.” Kali ini aku mengajaknya untuk bangkit.
“Mau kemana?”
“Temui orang tuaku dan lamar lah aku, aku yakin mereka pasti setuju.” Sebuah keputusan yang super cepat aku ambil, Gilang membelalakkan matanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. “Aku tak akn mengulang perkataanku.” Cetus ku. Gilang segera berdiri, dia menggandengku dengan erat.
“Kau menakjubkan!” Teriaknya, luapan emosi bahagia, senang dan haru. Tampaknya menjadi satu didalam dirinya.
“Yaaa...mungkin karena kau. Kau tahu? Ternyata aku sama bodohnya dengan mu. Aku selama ini dibutakan oleh cinta, padahal aku sadar kalau cintaku itu selalu berada dekat dengan ku.” Bisikku, Gilang memelukku erat.
Matahari pun bersaksi hari itu, bahwa aku dan Giilang memang sudah seharusnya bersama. Sejak pertama kali bertemu, dia memang bagaikan magnet yang selalu menempel pada diriku. Aku bahagia karenanya, aku mencintainya, sungguh benar-benar mencintainya.
Depok, 19 Juli 2011