Kamis, 01 Agustus 2013

Catat...! Menikah adalah sebuah kepastian.

            Aku masih memandangi pergerakan jarum jam yang sudah berada tepat pukul 19.30 WIB, sudah 30 menit lamanya aku menunggu seseorang. Sesekali aku mendongakkan kepalaku melihat sisi pintu cafe yang tampak lenggang. Tapi tak ku temui juga batang hidungnya. Ini bukanlah kali pertamanya ia telat menemuiku, jadi aku berusaha untuk sabar menunggunya. Secangkir cappuccino late telah kuhabiskan sejak 20 menit lalu, aku terpaku pada layar handphoneku yang memasang foto aku dan dia. Setahun, itu bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal, mengerti, berbagi dan memahami. Aku tersenyum simpul menatap bingkai foto tersebut, akh… aku tak mau larut untuk saat ini.
            Kupasang headphone untuk mendengarkan musik dari handphoneku, kuputar lagu-lagu melankolis milik Agnes Monica, lagu rindu terdengar syahdu ditelingaku. Aku memejamkan mata sejenak, rasanya kali ini aku mulai larut. Ya aku merindukan sosoknya yang selalu memperhatikanku, yang selalu bertanya tentang kabarku, yang selalu ada untukku kapan pun aku butuhkan. Akh…, kenapa aku harus meneteskan air mata? Kecambuk hatiku seperti berteriak meminta untuk didengarkan, meraung untuk menghentikan rasa kesakitan.
            “Hai.” Suara lembut itu menyapaku, aku segera membuka mataku, menyeka sisa-sisa butir air mata yang masih menempel di pipiku, dan melepaskan headphone yang masih menempel di kupingku. Pria itu terdiam sejenak memperhatikanku, sepertinya ia tahu apa yang sedang ku pikirkan. “Maaf, untuk sekian kali aku membuatmu menunggu.” Tambahnya, ia duduk di sofa persis di depanku. Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya. “Kamu marah denganku?” Tanyanya kemudian, membuat ku menatapnya sejenak dan seketika ku buang pandanganku.
“Hhhhh…” Aku menarik nafas panjang, dan aku kembali diam. Jujur saja aku bingung bagaimana bicara dengan lelaki yang begitu ku sayangi. “Untuk apa marah? Bukankah sudah sering aku menunggumu?” Ujarku kemudian, dengan senyum yang tersinggung di bibirku, seperti menyindirnya. Bisa dibilang aku bosan mendengar kata-kata seperti itu, ia selalu bertanya seperti itu jika aku terdiam, padahal tidak selamanya diam ku itu karena aku marah.
“Ya aku tahu, happy anniversary.” Ucapnya sambil meraih jemariku. Senyumnya terkembang kepadaku. Happy anniversary, kata itu seperti kaku di ucapkannya. Ini memang hari spesial antara aku dan dia, tapi tetap saja bagiku tidak ada yang special hanya harinya saja yang terlihat spesial, dengan tanda love pada kalender ku yang menandakan setahun hari jadianku dengannya.
 “Kapan kamu menikahiku?” Spontan kata itu terlontar dari lidah ku, dan ku perhatikan ia terlihat gugup, tangannya perlahan melepas jemariku, bibirnya pucat seolah tak mampu berkata apapun. Aku membuang pandanganku pada jendela terbuka dengan pemandangan lalu lintas yang begitu penuh. Aku yakin Glen akan memberikan seribu alasan saat aku bertanya hal seperti itu.
“Karin, aku tahu kamu akan bosan mendengar penjelasanku yang sudah ku ulang berkali-kali. Kamu ingat dengan kesepakatan kita kan? Aku pasti akan menikahimu Karin, tapi tidak untuk sekarang. Semua itu butuh persiapan, aku mau acara terbaik kita menjadi moment yang paling berharga, sacral dan sesuai dengan keinginanku. Kamu kan tahu, aku sedang usaha untuk menuju kesana, aku janji pasti 2013 akan menikahimu. Karena itu kan kesepakatan kita?” Glen menjelaskan, Glen memang benar bahwa aku bosan dengan penjelasannya, walau dulu aku dan dia telah sepakat untuk melaksanakan semua itu di 2013, tapi rasanya aku semakin takut kehilangannya. Terlebih belakangan sikapnya mulai berubah, ia sudah jarang menghubungiku, padahal sebelumnya ia selalu menghubungiku. Perhatiannya mulai berkurang kepadaku, bahkan seminggu yang lalu aku menemukan sebuah foto wanita tersimpan di folder handphonenya. Cemburu. Itu pasti, tapi ia beralasan bahwa wanita itu adalah teman kerjanya yang tidak sengaja terfoto karena salah satu rekannya menyukai wanita tersebut. Percaya atau tidak aku masih berusaha untuk positive thinking kepada Glen. Pertanyaan yang kulayangkan kepadanya pun tidak lebih karena aku takut kehilangan dirinya, mungkin Glen tidak memahami gerakku, ia tak mampu membaca apa yang aku pikirkan. Lagi-lagi hanya butiran air mata yang mampu memahami keperihan hatiku, keinginan batinku. Akh Glen, seharusnya kamu tahu kegundahan hatiku.
“Glen, aku rasa aku butuh waktu untuk menyendiri.” Tegasku, Glen terkejut mendengar ucapanku. Ia menatapku lekat.
“Rin, kamu jangan main-main! Inget Rin, kita telah merencanakan semua itu dengan baik. Aku tak mau mengakhiri semua ini!” Aku bangkit dari dudukku, dan pergi meninggalkanya tanpa sepatah kata. Glen berusaha untuk menahanku, tapi aku tetap berusaha menuruti kemauanku.
Hujan deras mengguyur kota malam itu, aku berusaha menembusnya dengan segala kekuatanku. Air mata yang jatuh seketika terhapus oleh hujan, pun dengan kegelisahan yang ku rasakan, aku yakin semua itu akan cepat ku lupakan. Glen… perlu kau ketahui, aku mencintaimu.
***
Ibu terus memaksaku untuk makan, bukan…! Aku bukan depresi karena telah memutuskan sendiri saat ini, tapi… aku hanya mulai gelisah jika Glen benar-benar pergi meninggalkanku. Keputusanku beralasan, karena dengan demikian aku bisa tahu seberapa besar keseriusan yang dimiliki oleh Glen terhadap ku. Setelah malam itu, Glen berusaha menelponku berkali-kali, saat itu aku sengaja tidak menerima telpon darinya, bahkan ponselku sengaja aku non aktifkan. Dan sudah ku pastikan ketika aku bangun dan megaktifkan ponselku, Glen mengirimi ku SMS lebih dari 10 kali.
“Karin, aku minta maaf jika selama ini sering membuat mu kecewa. Sungguh, aku tak pernah bermaksud untuk membuatmu kecewa, apalagi sakit hati. Karin, aku mohon…, kamu yakin denganku! Aku sayang kamu Karin, tak ada wanita lain yang mampu mengisi hatiku, aku ingin kamu yang menjadi pendamping hidupku kelak. Karin…, please kamu pikirkan lagi keputusanmu. Kita punya cita-cita yang sama kan?”
Sepenggal SMS itu memenuhi layar handphone ku, aku enggan untuk berkomentar. Semua itu menambah penat dikepalaku, aku pun tak membalas SMS Glen. Malas. Memang aku terlihat sangat egois atas kemauanku, tapi mau bagaimana lagi? Teman-temanku mulai bertanya akan datangnya hari itu, terlebih mereka tahu aku dan Glen begitu harmonis, usia kami pun sudah sama-sama cukup matang, jadi apalagi yang ditunggu? Hanya satu yang aku pikirkan, kenapa Glen tidak berpikir hal yang sama denganku? Arrrrrrggggghhhhh….!
***
Sudah seminggu semenjak hari itu, aku tak lagi berjumpa dengan Glen, ia pun tak lagi menghubungiku. Sesekali aku mengecek akunnya di jejaring sosial tapi hasilnya nihil, akunnya selalau non aktif, tak ada status baru atau updatean apapun. Aku mulai gelisah, karena aku mulai merindunya. Tetapi disisi lain, aku semakin ragu akan keseriusan Glen, karena ia benar-benar pergi meninggalkanku. Glen…, mana janjimu? Ponselnya pun ku hubungi tidak bisa, selalu berada di luar jangkauan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Glen?
Ohh You.. You turn my whole life so blue, Drowning me so deep, I just can reach myself again…., Ohh You.. Successfully tore myheart Now its only pieces Ohhh Nothing left but pieces of you ….” Suara nada dering itu sontak membuatku terkejut dari lamunanku. Aku segera mencari ponselku yang entah ku geletakkan dimana, setelah ku temukan tertera sebuah nomor baru di layar ponselku.
“Halo.” sapaku saat menekan dial pada layar handphone.
“Hai…” Suara itu menyapaku lembut, aku tersenyum mendengar suara khas itu, tak terasa butiran air mata jatuh di kedua pipiku. Haru, karena aku benar-benar merindunya. “Kau menangis?” Tanyanya kemudian. Rupanya ia tahu apa yang kurasakan. Aku menggeleng, cukup lama aku terdiam, antara perasaan senang, kesal, rindu semua tercampur jadi satu.
“Dasar gak punya perasaan!” Maki ku kemudian, masih dalam keadaan menangis.
“Lho, kenapa sih sayang? Maaf ya honey, seminggu ini aku tidak memberi kabar kepadamu, handphone ku hilang setelah terakhir aku SMS kamu. Sedangkan mau beli pun aku tidak sempat, karena aku sedang sibuk mempersiapkan tes untuk ikut job career di kantorku. Tapi semua itu gak sia-sia kok, walaupun aku harus menahan rindu kepada mu, hasilnya sungguh luar biasa untukku.” Glen menjelaskan, aku masih tidak paham dan hanya mendengar ia berbicara panjang lebar. “Kau tahu sayang? Nanti malam orang tua ku akan menemui orang tua mu, aku sudah bilang ke mama mu tadi pagi. Dan sudah aku pastikan kita akan segera menikah dalam waktu dekat ini.” Tambah Glen, berita itu membuat ku bahagia.
“Glen…” Aku menyebut namanya perlahan, segaris senyum merekah di bibirku. Sungguh, surprise yang diberikan benar-benar luar biasa bagiku, jujur saja,kalau Glen berbicara langsung padaku pasti akan ku peluk ia dengan erat.
“Ettt…, kamu jangan senang dulu…! Karena setelah kita menikah, kamu harus ikut aku ke Singapur.” Ujarnya, membuat aku bertanya ada apa lagi ini? Ummm… mungkin Glen akan mengajakku honey moon.
“Lho kenapa? Kenapa gak di Indonesia saja? Di Bali gitu?” Tanyaku, dengan keyakinan adanya honey moon.
“Hey, bukan bulan madu sayang. Tapi aku memenangkan job career yang di adakan di kantor, dan aku di tunjuk sebagai manager cafe yang ada di Singapur, mungkin kita akan menetap selama dua sampai tiga tahun. Kamu bersedia untuk menemaniku?” Tanya Glen. Lagi-lagi hanya butiran air mata yang bisa menunjukkan rasa bahagia di hatiku.
“Aku pasti menemanimu Glen.” Ujarku
“Karin, kamu harus tahu satu hal, menikah itu adalah sebuah kepastian bagiku, hanya saja semua itu tinggal bagaimana kita untuk mengusahakannya dan selalu sabar untuk menunggunya, aku gak akan main-main dengan janjiku. Bagiku, saat ini lah yang tepat, karena aku sudah yakin dan siap. Baik itu siap mental, fisik, pun dengan materi. Aku ingin membuatmu bahagia jika hidup dengan ku kelak. Jadi aku berusaha untuk sukses sebelum menikahimu, aku tahu kamu bete dengan semua sikapku yang lebih fokus dikerjaan, aku juga tahu rasa bete kamu gak lebih karena kamu takut kehilangan aku, kamu tahu? Aku pun rasakan hal yang sama. Sekali lagi aku beritahu kepadamu, bahwa semua itu kulakukan hanya untuk kamu, yaaa just for you Karin.” Glen mengakhiri ucapannya. Aku speechless mendengar Glen yang berpikir sejauh itu. Padahal selama ini hanya sifat negative thinking saja yang ku tunjukan padanya. Glen tak pernah main-main dengan ucapannya, dia benar-benar menjadikan ku sosok yang special dalam kehidupannya.
“Glen…, aku mencintaimu.” Tuturku, dengan berlinang air mata. I really love you Glen.
***