Kamis, 08 Oktober 2015

Senyum dari Donggala



“Akhirnya…,” desisnya pelan. Ia merapikan beberapa lembar pakaian, peralatan mandi dan kebutuhan sehari-hari ke dalam tas punggungnya, setelah setahun penantiaannya akhirnya Reno bisa berlibur, penantian yang cukup panjang. Sebagai seorang supervisor logistic Reno memang telah menghabiskan banyak waktunya dikantor, terlebih belakangan nilai rupiah terhadap dollar anjlok bukan main, membuatnya harus rajin rapat dengan direksi, karena naiknya harga bahan baku produksi. Agendanya pun bertambah yaitu bertemu dengan beberapa supplier, untuk deal harga beli. Tugas ini memang diberikan sepenuhnya kepadanya, dengan maksud mendidik Reno untuk lebih bisa menangani hal-hal kecil, mengingat beberapa bulan ini Reno akan di promosikan menjabat sebagai manager. Tapi rupanya rasa jenuh telah berontak dalam batinnya, ia ingin bebas, lepas dari segala rutinitas apapun itu.
            “RENO!” panggil suara perempuan dari lantai bawah, Reno yang masih asyik packing di kamarnya tak menyadari panggil tersebut, telinganya tersumbat oleh lagu GNR yang mengalun dengan keras.
“RENO!!!” sekali lagi suara itu berteriak, menyadari sebuah suara menyelinap masuk dari lubang udara headsetnya, ia pun terlonjak.
            “Iya ma,” sahutnya kemudian melepaskan headset yang menyumpal telinganya. Ia menuruni anak tangga dengan semangat. Tinggal beberapa langkah ia menginjakkan kakiknya di lantai bawah, tetapi Reno malah asyik memperhatikan mama nya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.
            “RENO!!!” teriak wanita berusia 47 tahun itu sekali lagi, ia tak menyadari putra tunggalnya tengah memperhatikannya. Reno menuruni anak tangga yang tinggal berberapa langkah secara perlahan, “ampun deh ini anak, kok daritadi dipanggilin gak nyahut? Pasti kupingya di sumpel! Ckckckckckck!” omel mama yang masih tak sadar Reno siap mengejutkannya.
            “DORRR!” Reno menepuk punggung mamanya, sontak membuat mama nya terkejut dan menjatuhkan garpu yang sedang di pegang, sambil tersenyum nakal Reno menyium kening mama.
            “Kamu ini! bikin mama jantungan saja!” ketus mama, seraya mengambil garpu yang berada dilantai.
            “Ada apa mama ku yang cantik?” Reno merangkulkan tanganya di lengan mama, sambil mengerlipkan matanya.
            “Kamu yakin mau pergi ke Palu sendiri? Kenapa tidak mengajak mama?” pertanyaan itu sontak membuat Reno termenung. Keputusannya ke Palu sendiri itu memang sudah menjadi niatan awal Reno, ia ingin menikmati kebebasannya sendiri, tanpa beban.
            “Bukannya Reno tak mau mengajak mama, tapi kali ini Reno benar-benar ingin sendiri ma, nanti setelah Reno pulang dari Palu Reno akan ajak mama jalan-jalan deh, mama mau kemana?” Reno mengambil roti selai yang sudah disiapkan mama, menarik kursi yang berada di samping mama, dan melahap roti tersebut dengan potongan cukup besar.
            “Mama kan kesepian kalau gak ada kamu! Makanya, kamu tuh cepetan nikah! Biar mama ada yang menemani!” dua minggu belakangan, mama memang rajin sekali nyeletuk seperti itu. Reno diam sejenak, usianya baru 24 tahun. Dan mama sudah menyuruhnya untuk menikah, apa-apaan ini? Reno masih terlalu muda dan tak ingin menyia-nyiakan masa mudanya. Menggapai karir setinggi-tingginya, baru deh nikahin anak orang, sekarang ini ia baru jadi supervisor logistic diperusahan multinasional tempat ia bekerja, gajinya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan mama, kalau ditambah istri bagaimana? Hmmmm.
            “Reno?” mama menggoyangkan tubuh Reno, “kau baik-baik saja, nak?” mama melempar senyum sembari menuangkan orange juice pada gelas Reno.
            “Ya, aku baik-baik saja kok, ma” Reno kembali melamun sejenak, “mmmm, mama mau Reno ajak traveling kemana? Nanti Reno atur jadwal cuti buat mama deh, biar kita bisa hunting bareng.” Reno memasukkan suapan terakhirnya.
            “Mama belum ada ide mau kemana, kamu sendiri ada ide tidak?” mama melempar pertanyaan, menarik kursi minimalis dan menopangkan dagunya sambil menatap Reno tajam.
            “Bandung?” ceplos Reno sekenanya.
            “Boleh, sekalian mama silaturahim dengan tante mu,” senyum mama terkembang menatap Reno yang mulai menyeruput orange juice.
            “Okeh, sekarang Reno mau balik lagi ke atas, dan siap-siap berangkat, karena Reno gak mau ketinggalan pesawat lagi,” Reno menepuk punggung mama dengan lembut. Dan pergi meninggalkan mama yang masih mematung di meja makan.

***
            “Huaaaaaaa,” Reno menguap panjang ketika  ia tiba di Bandara Mutiara kurang lebih 2  jam perjalanan yang ia tempuh, karena Palu termasuk dalam Indonesia bagian tengah, maka waktu di Palu lebih satu jam dari Jakarta. Ia melihat ke sekelilingnya, perjalanan kali ini dirasa kurang karena tak ada yang menemani. Akh, tapi itu semua memang keinginannya, jadi tak perlu ia misuh-misuh karena tidak ada yang menemani, toh ia sudah menyewa tour guide selama ia di Palu.
            Reno masih memperhatikan sekeliling bandara, mencari sosok orang yang membawa papan bertuliskan namanya, kacamata oakley berwarna hitam menutupi sebagian wajahnya. Matanya masih mencari, dan tepat berada di sebelah baratnya, matanya tertuju pada pria berusia sekitar 30 tahun dengan polo shirt warna hijau kukus dan celana army 3/8, Reno tersenyum lega, menemukan tour guide tersebut. Ia melangkah pasti, melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
            “Mas Reno?” tebak lelaki tersebut.
            “Ya, Mas Sote?” Reno menujuk kearah lelaki tersebut seraya mengulurkan tangannya, humble. Itulah pribadi yang dimilikinya.
            “Senang bertemu dengan Anda,” lelaki yang bernama Sote itu, menyambar uluran tangan Reno dengan hangat. Reno tersenyum dengan santai, “okeh, perjalanan pertama kita langsung ke Desa Limboro, Benawa Tengah,” imbuh lelaki tersebut, memberi tahu agenda pertama Reno.
            “Sip, atur saja,” Reno tampak santai, sudah ada yang mengatur jadwal untuk apa dia mempersulit diri, toh Sote itu memang aseli warga Palu. Jadi gak mungkin Sote menyesatkannya, dari penampilannya saja. Sote ini terlihat berkelas, beda sekali dengan kebanyakan tour guide, yang biasanya dominan memakai hat. Gaya Sote casual banget, dengan rambut di spike, siapa yang akan menyangka lelaki ini tour guide kalau dia tidak membawa papan nama saat dibandara tadi.
            Mobil kombi telah terparkir didekatnya saat itu, Reno melirik spion sebentar menimbang-nimbang dan memperhatikan Sote sejenak, kemudian memandangi wajahnya, ia terlihat bersih karena memang rutin membersihkan wajah dengan facial foam khusus, rambut cepak dengan jambul yang ngalahin jambulnya Syahrini juga kelihatan keren karena sering kali ia gunakan hair gel, tapi kok kayaknya Sote jauh lebih keren dibanding dia ya? Nanti orang pikir justru dia lagi yang jadi tour guide. Whatssss? Apa-apaan sih ini? peduli amat sama begituan, saat ini kan yang terpenting itu liburan. Reno melenggang masuk kombi, duduk dengan selonjoran, karena kebetulan kombi itu memang dibuat seluas-luasnya dengan tidak memakai kursi tengah.
            “Oke, berangkat pak Surdi!” perintah Sote, setelah meyakinkan diri tidak ada yang tertinggal suatu apapun.  
            Sepanjang perjalanan Reno memperhatikan sekeliling, memasuki pedalaman Palu memang benar-benar berasa Indonesianya, sepanjang jalan trans Sulawesi menjadi lukisan Tuhan paling asri saat itu. Seperti hutan kecil yang mengelilingi, dan dari kejauhan terlihat bukit-bukit yang berwarna kehijauan.
            “Keren ya mas pemandangannya?” Sote membuka pembicaraan, mengingat kliennya ini sedari tadi terdiam. Entah lelah atau menikmati pemandangan alam yang begitu indah disekelilingnya.
            “Ya, sangat. Sangat keren.”
            “Ini belum seberapa Mas, kalau mas Reno sudah menginjakkan kaki ke pantai tanjung karang pasti gak akan hentinya berdecak kagum,” Reno membetulkan posisi tubuhnya jadi lebih tegak mendengar perkataan Sote. “Tanjung karang itu, menjadi tempat favorit wisatawan, mas,” lanjut Sote. “Selain karna airnya yang benar-benar jernih, tanjung karang terkenal dengan terumbu karang dengan berjuta biota yang bisa dilihat hanya dengan kedalaman satu meter,” tambah Sote, membuat Reno takjub dan tidak sabar untuk sampai di pantai tersebut. Snorkeling adalah hal pertama yang harus ia coba ketika sampai di pantai tersebut.
            “Dan pasti mas Reno ini akan betah berada di sini, apalagi cottage mas Reno tidak jauh dari pantai, jadi Mas Reno masih bisa menikmati desiran pantai sekalipun malam tiba,” Pak Surdi ikut nimbrung.
            “Wah, kayaknya saya memang tidak salah memilih tour guide,” Reno nyengir, sedangkan Sote dan pak Surdi, ikut tertawa dari balik kaca. “BTW, mas Sote sudah berapa lama jadi tour guide?” Reno mengalihkan pembicaraan, tapi matanya tetap asyik menikmati pemandangan disekitarnya.
            “Baru kali ini, mas Reno orang pertama yang mempercayai saya sebagai tour guide,” cetusnya, spontan Reno menoleh ke arah pemuda itu, dengan dahi berkerut. Surely? “Tenang saja, mas. Walaupun saya baru, saya asli orang Palu kok. Jadi mas Reno gak akan tersesat selama ada saya,” tandasnya. Membuat Reno tenang.
            “Oya, panggil saya Reno saja, gak perlu pakai mas. Saya masih muda kok, baru saja kemarin 24 tahun,” tuturnya. Ia mengambil air mineral yang berada disamping tas punggungnya. Menenggak air tersebut perlahan.
            “Wah, ternyata kita seusia ya, Ren!” sahut Sote, sontak membuat Reno hampir tersendak, karena ia mengira Sote sudah berumur 30 tahun. Untunglah pak Surdi dan Sote tidak begitu memperhatikan keterkejutannya.

***
           
Perjalanan dari Bandara Mutiara Palu ke Desa Limboro ternyata tidak lama, hanya beberapa menit saja, suara balida[1] yang berhentakan dengan pasak tenun sudah terdengar dari jauh. Dan Reno baru menyadari bahwa Sote tengah mengajaknya untuk melihat para wanita Donggala melestarikan kebudayaan buya sabe[2] yang sangat terkenal di Sulawesi.
            Seperti yang sudah ia siapkan, kamera DSLR miliknya sudah sangat prima dan siap memotret semua kegiatan wanita-wanita tersebut. Reno mulai sibuk mencari posisi untuk memotret, keindahan buya sabe memang membuatnya tak henti-hentinya memotret semua tenunan yang dihasilkan wanita-wanita Donggala itu. Dan unik nya lagi, tidak hanya wanita paruh baya yang sibuk menenun, remaja Donggala pun banyak yang ikut menenun buya sabe. Corak buya sabe hampir rata-rata berbentuk bunga, jadi sangat manis dilihatnya. Reno sudah memilih-milih buya sabe untuk mama.
            “Mas Reno ingin membeli buya sabe untuk oleh-oleh orang rumah?” tanya Sote, yang sedari tadi mengikuti arah kaki Reno. Tapi Reno tengah asyik membidik pemandangan lain sehingga pertanyaan Sote tidak ia dengar. “Rupanya, memotretnya seru sekali ya, mas?” imbuh Sote, kemudian melempar senyum saat Reno menoleh.
            “Sorry, sorry, kamu tadi tanya apa?”
            “Mas Reno, mau beli buya sabe tidak buat oleh-oleh?” Sote mengulang pertanyaan.
            “Pasti dong, buat mama,” ujarnya singkat, kembali memotret pemandangan yang sempat hilang dari lensanya.
            “Kalau mas Reno membeli buya sabe langsung disini, harganya jauh lebih murah daripada beli di outlet,” Sote menjelaskan, berusaha seprofesional mungkin sesuai dengan profesinya saat itu. Tapi rupanya Reno masih asyik memotret sosok wanita muda yang tengah asyik belajar menenun pada seorang wanita paruh baya beberapa meter dari tempat ia berdiri. Saat fokus bidiknya mengenai wanita muda itu, tak disangka wanita tersebut tersenyum ke arah lensanya. Membuat Reno melepaskan bidikannya, dan melempar senyum kembali pada si pemilik senyum yang manisnya seperti gulali. Wanita itu memang cantik, rambut hitam nya tergerai dengan lurus, matanya belo, hidungnya mancung kurus, dan bibirnya sangat imut, dan ada lesung pipinya juga saat ia tersenyum.
            “Namanya Ayla, dia temanku, mau aku kenali?” seru Sote, membuat Reno salting karena ketahuan aksinya sedari tadi. “Santai saja, gak perlu salting. Ayla sangat ramah kok,” tambah Sote. Saat itu juga, Sote melambaikan tangan pada wanita muda tersebut, lambaiannya pun disambut dengan senyum oleh wanita yang diketahui bernama Ayla. Mereka semakin dekat dan akhirnya mereka berada pada jarak yang begitu dekat. “Ayla, kenalin nih, ini klien ku,” Sote memperkenalkan Ayla dengan Reno.
            “Reno,” ia mengulurkan tangan lebih dulu.
            “Ayla,” singkat, wanita itu menjawab sambil menerima uluran tangan Reno.
            “Ayla ini wanita nasionalisme Ren, jadi kalau kamu mengetahui banyak hal tentang tradisi dan budaya Indonesia, pasti kamu nyambung ngobrol dengan dia,” Sote mendeskripsikan teman wanitanya, Ayla hanya tersenyum saja mendengar Sote lebih dalam memberikan informasi tentangnya.
            “Oh gitu, keren,” komentar Reno, bingung mau ngomong apa lagi.
            “Santai saja, saya gak galak kok. Jadi gak usah tegang gitu,” celetuk Ayla, membuat Reno semakin mati kutu karena ketahuan. Sedangkan Sote malah asyik terbahak mendengar celetukan Ayla.
            Perkenalan singkat itu, menjadikan kota Donggala semakin hidup untuk Reno. Tidak hanya dapat pengalaman baru, tapi ia juga mendapati pengetahuan baru. Dimana Negara yang ia tinggali saat ini, memiliki banyak sekali budaya yang harus dilestarikan dan dikenalkan kepada dunia. Dan satu lagi yang ia dapatkan, teman baru yang begitu bersahabat terhadapnya.
            Setelah perjalanan di Benawa Tengah dirasa cukup, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju cottage, kebetulan cottage yang Ayla tempati masih satu tempat dengan cottage Reno, sehingga saat itu mereka bersama-sama menuju cottage. Sayangnya, dalam perjalanan Reno tidak berani mengeluarkan satu kata pun kepada wanita yang ada disampingnya, ia memilih diam seribu bahasa. Hingga ia tak menyadari betapa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, mungkin barangkali sudah hampir copot.

***
Cottage yang ditempati Reno cukup besar, dengan satu ruang tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Dengan pelitur khas kayu jati, cottage itu sangat kentara Indonesia, ada sebuah lukisan juga di dindingnya, frame nya terbuat dari kayu juga. Lukisan yang menggambarkan symbolis daripada bhinneka tunggal ika. Sebuah nama kecil tertulis disudut canvas, Amel. Lukisan itu terlihat sangat hidup, Reno masih memandangi lukisan tersebut.
            “Amel, dia anaknya pak Surdi. Usianya sebelas tahun, tapi jago sekali melukis. Ini lukisan terakhir yang dibuat Amel sebelum ia dipanggil Tuhan,” Reno menoleh ke asal suara, rupanya Sote tengah berdiri dibelakangnya.
            “Wow, sebelas tahun bisa melukis sekeren ini?” Reno mendelik menatapi lukisan tersebut, masih tidak percaya atas pernyataan Sote.
            “Ya, begitulah. Oya, berhubung sudah menunjukkan pukul empat sore, lebih baik Reno istirahat saja dulu, tapi kalau Reno tidak capek, Reno bisa lihat pemandangan laut diluar. Pokonya senyamannya Reno saja, satu lagi nanti akan ada pramusaji yang membawakan makan malam, kalau jam 7 belum ada yang datang. Reno bisa langsung panggil saya saja di cottage belakang,” Sote menjelaskan panjang lebar.
            “Okeh!” tanpa banyak basa-basi Reno mengiyakan, LELAH. Itu yang saat ini ia rasakan, ia ingin segera menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuk yang telah disediakan, kalau mau lihat laut sih gampang, wong lautnya juga gak kemana-mana. Tetapi, sebelum Sote melangkah lebih jauh… “Sote, kamu mengenal Ayla dengan baik?” pertanyaan itu sontak membuat Sote membalikkan badannya, dan kembali mendekati Reno.
            “Ya, Ayla itu teman ku saat kami sama-sama ikutan bakti pemuda antar propinsi. Ayla itu perwakilan Jawa Barat loh, dia asli orang Bandung,” Sote menjelaskan, Reno manggut-manggut dan tersenyum senang mendengar kata Bandung, yang artinya dekat dengan Jakarta. “Sudah, jangan dipikirkan terus, besok pasti ketemu lagi dengannya,” ledek Sote.
            “Aku hanya ingin mengenalnya saja, dia sangat beda dengan wanita-wanita yang selama ini aku kenal. Kamu tahu kan wanita Jakarta itu seperti apa? Teman-teman wanita ku hampir rata-rata socialite, beda sekali dengan Ayla yang begitu sederhana,”
            “Ya, Ayla adalah wanita Indonesia, jika kamu mau melihat wanita asli Indonesia, lihatlah Ayla, karena dia memiliki kecantikan wanita Indonesia yang sesungguhnya.”
            “Ya, barangkali aku memang tersihir karenanya,” celetuk Reno.
            “Sudah, dilanjut besok saja perkara hatimu,” ujarnya kemudian, ada getaran berbeda di hatinya saat berujar seperti itu.
            Sote pun meninggalkan Reno dengan santun, lelaki itu menutup pintu cottage Reno rapat-rapat. Pengalaman pertamanya menjadi seorang tour guide lumayan berhasil. Kalau bukan karena ingin membelikan hadiah kain Donggala yang sangat mahal pada seseorang yang special, Sote gak akan mau melakukan ini semua. Tapi, menyenangkan juga bisa berbagi informasi tentang kota kelahirannya. Siapa tahu suatu saat pantai tanjung karang akan lebih terkenal dibandingkan dengan pantai Sanur, maupun Kute, Bali.

***
            Reno mengucek matanya perlahan, alarm di handphone nya telah berbunyi dengan nyaring. Reno beranjak dari tempat tidur, masih dalam keadaan setengah sadar, Reno berjalan menuju pintu dan keluar untuk menikmati pagi di Donggala. Hamparan lauatan berwarna orange menyambutnya, hasil pantulan dari matahari yang perlahan naik memberikan lukisan  luar biasa indah dipandang oleh mata. Dalam pandangan nya saat ini sesosok wanita tengah membentangkan kedua tangannya menghadap matahari. Rupanya ia tengah menyambut si raja siang terbit. Reno mengucek mata perlahan, takut-takut yang dilihat hanya imajinasi. Tapi ternyata, sosok itu benar Ayla.
            “Heiiii!!! Sini!!!” panggil Ayla, menyadari Reno tengah asik memperhatikannya. Ragu, tapi akhirnya Reno memutuskan untuk menghampiri wanita tersebut.
            “Heiiii,” sapanya datar, kemudian melempar senyum.
            “Kenapa hanya memperhatikan dari jauh? Ayo ikuti aku seperti ini!” Ayla membentangkan kedua tangannya lagi. Reno memperhatikan takjub, tapi mengikuti wanita tersebut.
            “Kenapa harus melakukan ini?” komentar Reno, setelah membetangkan kedua tangannya.
            “Menyambut mentari itu, berarti semangat untuk menyongsong hari,” tutur Ayla masih menatap mentari yang perlahan semakin terlihat wujudnya. Reno mengernyitkan dahinya, menoleh pada wanita yang sedang ia temani. “Jangan aneh seperti itu, inilah aku. Oya dalam rangka apa Reno ke sini?” Ayla berusaha mengalihkan pembicaraan, mengingat lawan bicaranya mulai menatapnya dengan aneh.
            “Hanya liburan saja,” singkat. Jawaban itu selalu saja pendek, membuat orang yang bertanya langsung berubah mood.
            “Hanya liburan? Sayang sekali ya? Aku pikir, kamu ke Donggala memang dengan tujuan yang spesifik. Mengenal kebuadayaannya gitu, atau nggak memang berniat untuk memperkenalkan pantai ini keteman-temanmu,” Ayla menjatuhkan tubuhnya pada pasir putih, tanpa alas. Reno hanya mampu memperhatikan gerak tubuh wanita itu.
            “Yaaa…, tujuan ku memang hanya liburan saja. Kalau ingin mengenalkan pantai ini ke teman-teman, aku rasa hampir semua temanku tahu pantai tanjung karang….”
            “Salah, karena setahu ku gak semua orang yang tahu pantai indah ini,” potong Ayla. Reno, mendesah pelan, kemudian duduk disamping Ayla.
            “Mungkin itu pendapat kamu, tapi menurut ku tidak,” tegas Reno.
            “Pantai ini termasuk sepi pengunjung, karena tak banyak wisatawan yang tahu. Coba saja nanti siang kamu perhatikan, pantai ini tidak seramai Sanur maupun Kuta, bahkan Ancol sekalipun. Padahal untuk panorama dan keindahan, pantai ini jauh lebih bersih dan enak dinikmati, apalagi untuk snorkeling dan diving,” Ayla menjelaskan, Reno manggut-manggut saja.
“Oya, nanti siang aku mau snorkeling, temani ya?” tanpa ragu, Reno melontarkan permintaan kepada Ayla, anggukan kecil pun memberikan jawaban. “Waktu aku browsing di mbah google, katanya terumbu karang disini sangat bagus ya?” kini Reno berusaha untuk membuka topik.
“Sangat, sangat bagus. Gak sampai 1 meter juga udah terlihat terumbu karang, ikan-ikan kecil yang datang sekelompok, pokoknya keren deh, dan gak bisa diungkapin dengan kata-kata,” Ayla menjelaskan dengan semangat.
“Kamu ini tahu banyak hal ya tentang pantai ini?”
“Aku cinta Indonesia, karena kebudayaan yang beragam dan tempat-tempat wisata nya yang bagus banget. Kamu tahu pantai ranca buaya di Bandung?” tanya Ayla, spontan Reno menggeleng, bukan gak cinta sama negaranya, tapi memang dia baru pertama kali mendengar pantai itu. “Kamu ini payah sekali ya, ranca buaya juga indah, tapi… tetap sih tanjung karang lebih indah dari pantai mana pun yang aku kunjungi. Apalagi ombak dipantai ini sangat tenang, mungkin bagi pecinta surfing pantai ini kurang asik. Tapi buat orang yang sangat mengagumi flora dan fauna laut, pasti suka sekali dengan pantai ini,” Reno mematung mendengar Ayla panjang lebar memberikan informasi kepadanya. Suasana pun kemudian hening.
“Kamu dekat ya dengan Sote?” Reno mengganti topik pembicaraan. Karena otaknya sudah mentok mau nanya apa lagi, apalagi kalau tentan pariwisata di Indonesia, pasti Ayla mampu untuk menjawabnya.
“Kang Sote, sudah seperti kakak ku sendiri, kenapa?”
“Sepertinya Sote menganggap mu spesial, aku bisa melihat semua dari sorot matanya,” sontak pernyataan Reno membuat Ayla merasa risih.
Memang, Sote pun pernah bilang kepada Ayla bahwa Ayla adalah wanita yang sangat spesial. Bahkan semalam, Sote memberikannya hadiah buya sabe. Ayla tidak pernah memungkiri dan menghindari perhatian yang diberikan Sote, tetapi keinginannya saat ini belum benar-benar tercapai, ia hanya ingin fokus pada cita-citanya.
“Kenapa diam?” Reno membuyarkan lamunan Ayla.
“Tidak apa-apa, aku rindu dengan aktifitasku di Bandung.”
“Oya, memang kamu sibuk apa?” tanya Reno, penasaran.
“Mengajar,” Ayla menjawab singkat.
“Profesi yang sangat mulia,”
“Aku mengajarkan anak-anak memainkan alat musik,” ungkap Ayla, Reno menoleh ke Ayla.
“Wow, piano? Gitar? Atau biola?” tebak Reno.
“Sebentar,” Ayla beranjak dari posisi duduknya, kemudian berlari meninggalkan Reno. Bayangan Ayla pun hilang dibalik cottage yang ia tempati.
Reno kembali melempar pandangannya pada hamparan laut, mentari telah tinggi saat ini. Mungkin sudah pukul 07.00 pagi waktu Indonesia bagian tengah.
“Nih,” Ayla menyodorkan alat musik yang sangat familiar.
“Angklung?” Reno mengernyitkan dahi sambil membunyikan angklung tersebut.
“Yaaa, betul sekali. Menciptakan nada yang baik dari angklung itu kan gak bisa sendiri, harus ada kekompakan dalam satu grup. Disitu aku juga mengajarkan mereka untuk saling membutuhkan satu sama lain,” tuturnya. Ayla punya cita-cita membuka sanggar, saat ini ia memang sudah menjadi pengajar, tapi sanggar yang didirikan belum sepenuhnya sesuai dengan keinginannya.
“Kamu emang beda ya?” puji Reno, Ayla hanya mengankat kedua bahunya sambil tersenyum.
“Kalau kamu mau, angklung ini buat kamu,” ujar Ayla. Reno terbelalak, Ayla memang sangat berbeda dengan wanita kota pada umumnya.
“Yakin?” Reno memastikan, Ayla pun mengangguk.
“Hai! Ternyata kalian ada disini ya?” suara barito itu membuat keduanya menoleh. Sote. Kali ini ia ikut nimbrung di antara mereka, dan asik berbincang tentang keindahan Indonesia yang exotic. Terlebih siang nanti mereka akan snorkeling bersama.
Dan saat itu juga Reno menyadari satu hal, bahwa ia adalah seorang generasi penerus bangsa, yang harus melestarikan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Terlebih saat melihat Ayla dengan semangatnya memperkenalkan berbagai macam kebudayaan dan kekayaan Indonesia. Ia merasa sangat bangga pada wanita tersebut, dari sekian wanita yang ia temui baru kali ini ada wanita yang lebih senang bekerja karena jiwa nasionalismenya.
Saat ini hanya satu keinginan Ayla, Pantai Tanjung Karang menjadi destinasi terbanyak wisatawan nantinya, makanya ia semangat sekali ketika orang bertanya tentang pengalamannya ketika di Palu, hal yang pertama kali ia ceritakan adalah pantainya, dengan begitu ia bisa mengenalkan ke semua temannya bahwa tidak hanya Bali dengan pantai Sanur dan Kuta yang begitu terkenal indah, tetapi Palu juga punya pantai yang lebih indah.
Reno mungkin tidak akan melupakan pengalamannya saat ini, bertemu dengan Sote yang sangat bersahabat, dan bertemu dengan wanita yang begitu istimewa, barangkali kalau ia sudah di Jakarta ia akan rindu pada senyum yang hanya ia temukan di kota ini, Donggala.

***


[1] palang kayu panjang yang jadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang.
[2] Tenun khas Donggala yang terbuat dari sutra, seperti halnya kain Ulos dan kain Songket.

Kamis, 27 November 2014

Find Someone #PART 1

Kata orang, hal yang paling membahagiakan di dunia ini adalah jatuh cinta. Padahal menurut Sandra, hal yang paling membahagiakan itu ketika banyak orang yang menyayangi kita. Terkadang Sandra heran dengan teman-teman sebayanya yang sangat mengagungkan arti "CINTA". Baginya semua terdengar sangat lebay, lebay karena Ia sendiri belum pernah merasakan jatuh cinta pada lelaki manapun. Sandra bukan kuper, tapi Ia hanya enggan prestasi di sekolahnya menurun karena sibuk memikirkan kekasihnya. Akh, persetan untuk satu hal itu, Sandra enggan berlama-lama memikirkan "CINTA". Apalagi, saat ini Ia tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti Ujian Nasional, Ia ingin masuk SMA favorit dan terkenal se Jakarta.

Sandra masih menuntun kakinya untuk berjalan kurang lebih 600 meter dari depan gang rumahnya. Tepat pukul 15.00 WIB saat itu, ia selalu pulang sendiri, dan tak ada yang menjemput, dan Ia pun tidak pernah naik ojeg. Bukan karena tak punya uang, tapi Ia hanya lebih berhemat. Ia pikir daripada uang tersebut Ia pakai untuk naik ojeg, lebih baik di tabung untuk membeli kado mamah nya yang sebentar lagi ulang tahun. Tiba-tiba saja sakunya bergetar, itu pasti ada pesan masuk. Segera Ia meraih handphone yang ia simpan di saku roknya.

Andien : I hope you find soulmate in away :D

Pesan singkat Andien, membuat Sandra terkekeh, Ia ingat sebelum jam belajar berakhir Andien selalu meledeknya, Andien berkata suatu saat kamu pasti dipertemukan dengan jodohmu di jalan. Temen sebangkunya memang aneh, masa iya bertemu dengan jodoh segampang nemuin tukang ojeg. Huhh.

Sandra : are you kidding me? Soulmate impossible can find in away! If true this is so crazy? Isn't it? :P
Andien : Yeah, maybe you dont believe now, but lets see the next. Will you trying to believing my insight?

Sandra hanya geleng-geleng menbaca pesan di android miliknya, mana mungkin soulmate datang begitu saja, di jalan pula. Sandra itu memang belum pernah pacaran tapi sudah banyak lelaki yang mendekatinya. Andrian, Kaien, Sam, bahkan Rio si ketua basket yang sangat terkenal. Sayang semua berakhir pada penolakan. Sandra memang cantik, rambut hitam sebahu, mata belo dengan bulu mata yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang kecil tetapi penuh, wajar jika banyak lelaki yang tertarik padanya bahkan ia juga imut tingginya tak lebih dari 155 cm pipinya sedikit chubby, walau badannya terbentuk proporsional.

"Hei! Kamu! Hei!" Suara bariton itu memanggil entah siapa, Sandra terus berjalan, takut-takut orang jahat yang memanggilnya, ia mempercepat langkahnya. Oh my god, Ia harus tetap berjalan karena jarak rumahnya masih lumayan jauh. "Hei, Dik! Kamu! Hei, anak SMP!" sekali lagi suara itu berteriak, tapi Sandra tidak memedulikannya, meskipun ia mendengar lelaki itu memanggilnya, karena saat itu hanya dia lah yang tengah berjalan dengan baju seragam SMP.

Derap langkah kaki itu semakin lama semakin mendekati Sandra, sepertinya ia ingin lari saja, tapi kakinya seolah enggan di ajak untuk berlari. hingga tangan lelaki itu mencengkeram bahunya, dan membuat langkahnya terhenti.

"Hei! Aku memanggilmu sedari tadi? Kenapa jalanmu seperti orang ketemu hantu, huh?" ketus lelaki itu, takut-takut Sandra pun menengok, Sandra melihat sesosok lelaki yang tampan dengan seragam SMA tengah ngos-ngosan karena mengejarnya, rambutnya kecoklatan dengan poni jarang di dahinya, matanya berbinar berwarna coklat, bibirnya berwarna merah jambu, kulitnya sangat bersih, ia mirip sekali dengan Mario Maurer.

"Ummm...," tak mampu berkata apapun, Sandra hanya menunduk.

"Nih...," lelaki itu memberikan sebuah kunci dengan gantungan hello kitty, Sandra menerimanya setengah bingung, itu adalah kunci kamarnya, "tadi terjatuh, saat kamu ambil hp, gak sadar yah?" lelaki itu menjelaskan melihat kebingungan Sandra. Sandra hanya menggeleng, "kenapa sih daritadi cuma, umm terus bingung, dan sekarang cuma geleng ajah! Tenang aja, gue gak bakalan gigit lu kok," raut kesal tampak di perlihatkan oleh lelaki itu.

"Terima kasih, kak. Maaf, saya kira..."
"Gue penjahat gitu?" belum sempat Sandra melanjutkan ucapannya lelaki itu sudah bisa menebak.
"Nggak kok, saya kira kakak memanggil orang lain, bukan saya. Sekali lagi terima kasih, kak," cepat-cepat Sandra pun berbalik badan ingin melanjutkan perjalanan pulangnya.
"Iya sama-sama, lu tinggal dimana?" entah bagaimana lelaki itu jalan beriringan disampingnya.
"Di gang Aster kak,"
"Mmmm... deket tuh dari gang rumah gue," tukasnya, pandangannya tetap fokus pada jalan, dalam hati Sandra sungguh heran dengan lelaki ini, Ia perpaduan baik dan sangat cool. "Gue di gang Anggrek," belum sempat Sandra bertanya, seoalah lelaki itu tahu apa selanjutnya yang akan Sandra tanyakan.
"Iya deket,"

Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, kaku sejadi-jadinya, saat ini Sandra hanya merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, seperti ada katak yang melompat-lompat, berkali-kali dia bersikap rileks. Tapi tetap tak bisa hingga akhirnya lelaki yang berada di sampingnya menyadari ketidaknyamanan yang dibuat oleh Sandra.

"Lu kenapa sih? Gue perhatiin tegang banget!" cetusnya, Sandra manyun , sumpah ini cowok bener-bener kasar yah. "Kenapa? Gak suka gue jalan bareng lu?" Sandra buru-buru menggeleng, "Hhhhh, dasar cewek aneh, daritadi ngomongnya irit banget! Emang dalam hidup lu ngomong itu harus pakai pulsa yah? Yang harus beli dulu baru bisa ngomong?" Sandra ternganga, lelaki ini kenapa sih?

"Kenapa kakak dari tadi membentak saya? Bukankah kita tidak saling kenal? Dan bukankah saya sudah mengucapkan terima kasih? Apa ada yang kurang? Apa saya harus nyerocos sepanjang jalan?"

"Ya..., yaa... yaa.. ya emang sih kita gak saling kenal, tapi setidaknya kita bisa mulai saling kenal, kan?" kata-kata terakhir itu membuat Sandra memutar bola matanya.

"Tapi..., bisa, kan? Untuk lebih sopan bicaranya dan tak perlu berteriak,"
"Ok, fine! Kalau gitu gue diem aja!"

Dalam hati Sandra ia sangat-sangat benci dengan orang macam ini, keras kepalanya gak ketulungan, tapi ngapain Ia repot-repot mikirin, kenal juga nggak! Kok malah jadi kesel. Really, kejadian ini bener-bener gak lucu sama sekali, tapi... jangan-jangan... oh my god, ini kah yang di maksud Andien? Sandra tidak percaya dan tak mau berpikir yang aneh-aneh. Enough! batinnya untuk menyingkirkan pikiran itu. Bertemu soulmate tidak begini caranya.

To be continued... :D

Kamis, 06 November 2014

Lakukan Yang TERBAIK (Part 1)

Hai, kali ini saya akan bercerita tentang pekerjaan saya.

Note : Sebelum baca, saya cuma ingin info bahwa ini bukanlah keluhan saya, melainkan saya hanya ingin berbagi cerita saja, syukur-syukur banyak hikmah yang di dapet. Aamiin...

Silahkan menyimak,

Hai, saya lulus sekolah tahun 2008 dan langsung bekerja setelah 2 bulan kelulusan pada October 2008, saya tidak kuliah, karena saya adalah tulang punggung keluarga dan harus mencukupi banyak kebutuhan keluarga saya. Di awal karir saya pada tahun 2008 saya di terima di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang Digital Printing dan Percetakan. Saat itu saya di terima sebagai Customer Service, gajinya sangat minim, tapi saya bersyukur karena dekat dari rumah.

Sebulan masa percobaan semua baik-baik saja, tapi di bulan kedua sempet dapet tekanan dari salah satu senior yang kurang suka dengan saya, entah apa penyebabnya dia menjelek2an semua yang saya lakukan, hingga sampai akhirnya saya dapat semprotan panas dari boss saya ketika mengambil gaji saya di bulan kedua. Sedih itu pasti yaa bloggers, karena seharusnya kita seneng dapet gaji ini malah jadi saya nangis, sempet kepikiran buat berhenti, tapi saya berusaha sabar kebetulan ibu saya adalah orang yang sangat menyemangati saya dan selalu menguatkan saya. Oya di bulan kedua saya juga dipercayai untuk memegang gudang kecil. Saya memang senang bekerja di administrasi, karena sesuai dengan jurusan saat saya sekolah. Kedengarannya tidak begitu membanggakan yah?

Di bulan ketiga masa percobaan saya, saya di panggil dan ditunjuk memegang gudang secara penuh. Saat itu jabatan saya berubah menjadi Admin umum dan Gudang. Saya senang karena saya tidak kena shift, setiap harinya saya masuk pagi. Itu adalah hal yang sangat menyenangkan buat saya, walau terkadang saya merindukan shift siang. Selama jadi admin umum hanya sekali saya mengalami masa berat. Waktu itu ada kerjaan yang lumayan banyak dari salah satu CS, saya memang menginformasikan kepada semua CS, jika menerima kerjaan yang banyak dan membutuhkan bahan baku yang banyak segera koordinasi dengan saya. Tapi kesalahan terjadi pada CS yang tidak info kepada saya, kenalah saya di semprot oleh Store Manager saya. Dan saya gak terimanya si CS info ke SM bahwa saya yang salah. Sampai saat ini kalau saya ketemu sama CS tersebut juga males bawaannya. Bukannya dendam sih, tapi saya enggan berhubungan sama orang yang memiliki penyakit hati, apalagi sampai fitnah orang. 

Masa jabatan saya di admin umum dan gudang hanya bertahan 2 tahun, SM saya merekomendasikan saya untuk maju pada Job career untuk penempatan Kantor Pusat yang berlangsung November 2010. Mungkin faktor lucky kali yah saya bisa lolos sampai tahap akhir. Padahal tes matematikanya itu gak banget untuk deret dan aritmatika. Tapi Alhamdulillah emang rejeki saya kali yah. Akhirnya saya lolos dan mengganti jabatan saya menjadi Purchasing dan Asset Staff pada bulan Desember 2010 masuk ke dalam Department I bercampur dengan keuangan, Finance, IT, dan Logistic. Mungkin ada yang bingung kenapa selalu dapet dua job sekaligus, dan kenapa juga department nya campur aduk begitu? Kebetulan pada tahun tersebut perusahaan tempat saya bekerja belum begitu berkembang makanya banyak Double Job. Tapi semua saya kerjakan dengan have fun.

Jadi orang kantor tuh tibang katanya aja enak, dulu sih sempet bilang gini "enak ya jadi orang pusat, cuma duduk di depan komputer." Taunya pas saya udah di pusat, beuh pusing banget. Secara kita harus ngurusin semua unit, yang jumlahnya gak sedikit, harus siap banget sama semprotan para SM unit, kalau ada bahan baku yang gak sesuai, pengajuan service lama dan lain sebagainya, waktu awal-awal sih saya sering banget nangis. Karena ada loh SM yang mulutnya pedeeeess banget, cabe sekilo di gado aja kalah pedesnya. Ada juga yang ngomel2 seenak jidat kesiapa pun, dan ada pula nih, yang senengnya ngadu domba saya sama owner. Gak enak kan jadi orang Pusat, + nya jadi orang pusat itu karena sabtu setengah hari, itu aja sih. Walaupun banyak yang pedih, tapi kita jadi tau karakter orang, dari pindah ini juga, saya jadi tau karakter mbak-mbak yang dulu cuma say hello sama saya. Yaaa walaupun banyak yang bilang kawasan Department I ibu-ibunya itu adalah keluarga cendana, alias masih keluarga sama owner. Tapi mereka asyik kok orangnya, dan sangat mengayomi yang masih muda, secara saya sendirian single gitu loh.  

Bulan pertama saya jadi Purchasing banyak yang saya pelajari, tapi saya sempet sedih karena di bulan pertama pula saya merasakan yang namanya "Bisnis Plan" kalau dulu saya yang anak unit / cabang cuma denger ceritanya dan kehebohannya saja, sampai-sampai setahun sebelumnya pernah saya di gangguin sama kepala gudang saya pas dia buat laporan bisnis plan untuk minta bantuan saya. Memang dasar saya itu orang nya KEPO pengen tahu aja, saya seneng aja bantuin, padahal sih itu pelanggaran yah. Bisnis Plan tahun 2010 itu lucu banget karena sekantor ikutan bisnis plan, saya yang masih terbilang baru berasa banget kaku sama hal ini. Tapi ini jadi pembelajaran buat saya, tapi saya gak norak2 amat kok. hihihihi. Ditahun berikutnya pun saya ikutan bisnis plan loh bloggers, kali ini beda, karena di laksanakan di Puncak, next saya ceritain deh serunya gimana. (Perasaan saya kebanyakan janji yah? :) tapi tenang pasti saya lunasin kok, hehehehehe). Nah di puncak ini gak semua ikut, cuma beberapa aja dari masing2 perwakilan. Seneng bisa kepilih dan bantu mewakili penjualan juga waktu itu. Dan tahun 2011 tahun terakhir saya pegang Asset dan inventaris kantor, saya akan focus pada purchasing. Horray....

Nah... itulah sedikit perjalanan karier saya dari tahun 2008-2011, gak ada achievement apapun, dan gak terlalu membanggakan sih, saya cuma mau share aja.

Nanti saya lanjut lagi deh ceritanya, sekarang udah jam 04.30 dan saatnya pulangg... horray

See u...
GANBATHE