“Aku mencintaimu, maukah kau menjadi istriku?” Ungkapan itu terlontar dari seorang yang sangat dicintai Aninda. Tatapannya menyapa seisi ruang hatinya yang penuh dengan bunga mawar putih. Tapi gejolak darahnya seolah menolak dengan segenap keberaniannya yang lemah. Ia terdiam sesaat, sedangkan Jabran masih menunggu sebuah jawaban yang akan menjadi titik awal dari sebuah masa depannya.
“Maaf aku tidak
bisa.” Ucap Aninda pelan.
“Kenapa?”
Jabran membulatkan matanya tanda tidak percaya, kedekatannya dengan Aninda
sudah lebih dari 2 tahun, dia telah menghabiskan banyak waktunya dengan wanita
keturunan Solo itu, bahkan ia rela melakukan hal gila apapun agar Aninda tetap
ceria.
“Aku gak bisa
Ran..!” Tegasnya, ada sesuatu yang tertahankan ditenggorokkannya. Sepertinya
kata tidak bisa tak mampu ia ucapkan dengan sempurna.
“Apa yang
salah? Aku mencintaimu lebih dari apapun yang aku punya, kau tahu kan? Buat apa
waktu dua tahun pacaran kita kalau pada akhirnya kamu tidak mau menikah
denganku?” Protes Jabran. Emosinya mulai meluap, tapi ia berusaha setenang
mungkin menghadapi wanita yang ia cintai. Aninda menggeleng, butiran air mata
membasahi kedua pipinya. Jabran tambah tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Nin, please jawab aku…!” Jabran memohon dengan sangat tetapi Aninda masih
terdiam.
“Aku mohon,
mulai saat ini jangan pernah ganggu aku..!!” Serunya, seraya meninggalkan
Jabran yang masih terpaku, Jabran terdiam dia berusaha mengejar Aninda
yang telah berlalu darinya, namun Aninda sudah lebih dulu menghentikan Taksi
dan meninggalkannya seorang diri.
Diluar dari batas kesadarannya,
Jabran menendang tempat sampah yang ada di taman tersebut. Kekesalannya membara
seketika, kemudian ia pun mengejar taksi yang membawa Aninda, ia tidak lagi
perduli dengan remuknya tong sampah dan sampah-sampah yang berserakan akibat
ulahnya. Tapi sial.. taksi yang ditumpangi Aninda lebih cepat menerobos lampu
merah ketimbang dia. Jabran tahu kalau Aninda pasti akan pulang ke Kostannya,
tapi dari kejadian sore tadi sampai tengah malam ini Jabran tak menemukan
wanita pujaannya dimanapun.
***
Malam yang
pekat, bulan sabit yang memberikan cahaya pada malam ini tak mampu bertahan
dengan kepulan kabut yang membayanginya. Suara bising kota Jakarta sudah tak
terdengar lagi disepanjang jalan, walau sesekali masih terdengar suara ban yang
bersentuhan dengan aspal menciut-ciut, tapi malan ini seolah hening. Lantunan
musik keras dari beberapa bar dipinggir kota pun tidak begitu terdengar ditelinga
Jabran, mungkin semua orang merasakan kesakitan yang dirasakan Jabran. Ia
tersenyum puas menikmati kesendirian dan gundah hati yang tak berujung. Jabran
pun mempercepat laju kemudinya, perasaannya benar-benar sakit menerima
kenyataan pahit yang ia alami. Permainan cinta yang dibuat oleh Aninda cukup
merobek-robek kekuatan hatinya hingga ia tak mampu merangkainya lagi.
“2 tahun aku
menunggumu, tapi apa yang kau lakukan? Kau menarik ulurnya hingga putus dan
berantakan.” Makinya. Sesekali ia memukul-mukul setirnya, luapan
amarah yang tak bisa ia kendalikan mampu memecahkan segala isi otaknya. “Kenapa
Aninda? Kenapa? Bukti apa lagi yang harus aku tunjukkan kepadamu…!!” Tambahnya
dengan nada tak kalah tinggi, mengalahkan deruan mesin mobil yang ia kendarai.
Semuanya terasa campur aduk didalam dadanya. Jabran menambah kecepatan
kemudinya, kota mulai lenggang jam 02.00 WIB dini hari, dari kejauhan Jabran
melihat sekelompok wanita dipinggiran jalan, beberapa diantara mereka sibuk
menstop mobil-mobil yang melintas didepan mereka.
Jabran pun
menghentikan lajunya pada seorang wanita mungil yang tengah asyik mengobrol
bersama rekan-rekan seprofesinya. Kejadian tadi siang tak mampu membuatnya
diam, dia butuh teman untuk ngobrol dan mencurahkan unek-uneknya. Dia sadar
sekali sahabatnya Nino tak akan bisa memberikan solusi bahkan yang ada Jabran
lah yang dimaki-maki Nino jika terus membicarakan Aninda. Lagipula Nino sedang
di Surabaya, kemana lagi dia akan menceritakan keluh kesahnya? Bagi Jabran tak
ada yang berharga selain Aninda didunia ini, bahkan ia rela mati demi wanita
yang ia cintai. Dalam hidupnya ia hanya mengenali Aninda dan Nino, sedangkan
orang tuanya? Ia tak pernah mengenalnya, karena kesibukan mereka mengurusi
klien-klien bullsit yang selama ini bermulut manis. Baginya, orang tuanya tidak
pernah menganggap Jabran dan Aji adiknya ada. Tapi Jabran bersyukur karena
masih ada Nino dan Aninda yang baik dan mau menemaninya, Aji adik semata wayang
Jabran lebih menyedihkan karena dunia malam lebih banyak mengambil waktunya
dibandingkan untuk sekolah. Beberapa kali Jabran menegur Aji, tapi selalu tidak
diperdulikan dan ia pun mulai bosan dan tidak memperdulikan adiknya yang bangor
itu.
“Hai tampan.”
Sapa wanita mungil itu, dia mendekati fortuner putih milik Jabran, di
tonggakkan wajahnya di jendela mobil Jabran.
“Berapa tarifmu
untuk mengobrol selama 3 jam?” Tanya Jabran, dia membuang pandangan keluar
jalanan.
“Satu juta.”
Ucapnya kemudian.
“Saya menyewa
kamu bukan untuk mesum, tapi saya hanya butuh teman untuk mengobrol.” Jabran
menjelaskan dengan tegas. Ia pernah mendengar dari Nino kalau wanita-wanita
malam seperti itu memang terkadang memasang tarif tinggi untuk kebutuhan sex,
tapi dia berjanji kalau dia tidak akan menyentuh wanita itu sedikitpun karena
walau bagaimanapun Aninda tetap nomor satu dihatinya.
“Oke, buat
langganan setengahnya deh.” Ujarnya dengan wajah manis. Jabran pun
memberi kode ke wanita tersebut untuk masuk kedalam mobilnya. Ia pun
meninggalkan deretan wanita malang yang masih menunggu beberapa lelaki hidung
belang.
***
Mimpi buruk itu
kembali datang menghampirinya, ketakutan akan hari itu kembali menyerangnya,
tubuhnya menggigil kedinginan. Ditariknya selimut hingga mencapai lehernya, Ia
tak tahu kepada siapa meminta bantuan. Kamar kost yang ia huni seorang diri
seoalah tak lagi bersahabat dan memberikan kenyamanan bagi dirinya. Tanpa
disadari tangisnya pun meledak ketika mengingat sosok pria yang ia cintai. Ia
telah melukai hati seseorang yang amat mencintainya, ia sadar apa yang dilakukan
adalah sebuah kesalahan terbesar, tapi ia pun lebih mengetahui hal terburuk
yang akan terjadi jika dia menerima pinangan Jabran. Dia lebih tidak rela jika
Jabran nantinya akan menyesal karena sudah memilihnya sebagai istri.
Aninda
mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Jabran, hari pertama ia masuk
kerja Jabran sudah mengerjainya dengan memintanya menyeduhkan kopi selama satu
minggu, belum lagi bawelnya jabran sebagai pimpinan membuatnya mengajukan
resign setelah 1 bulan berkerja. Anehnya Jabran selalu menolak surat permohonan
resign Aninda, dari situ lah Aninda mengetahui bahwa sebenarnya Jabran sengaja,
ia ingin Aninda selalu bersamanya. Dan Jabran lah sosok misterius yang dicari
Aninda, dia lah orang yang rajin menaruh mawar putih kesukaan Aninda setiap
pagi dimeja kerjanya. Tidak hanya itu saja, Jabran pun punya keahlian dalam
bercerita, Jabran lah yang mampu membuat Aninda tertawa sampai terpingkal,
bahkan Jabran membuat Aninda melupakan segala cemooh orang lain akan dirinya
yang sering disebut Freak dan Autism. Ia pun bisa melupakan trauma yang ia
alami, kehilangan kedua orang tuanya ketika berusia 8 tahun adalah hal tersakit
yang pernah Aninda rasakan, untung masih ada nenek yang menjaga dan
membesarkannya hingga ia mampu mendapatkan gelar S1, bagi gadis kampung seperti
Aninda pendidikan SMA sudah amat bagus, bagaimana dengan S1? Dan Jabran
lah yang membuatnya membuka mata untuk melihat betapa indahnya dunia. Semua
kenangan akan Jabran masih melekat dalam rongga-rongga hatinya yang mulai
berkarat.
Aninda berusaha
menutup mata kembali, ia memutuskan untuk tidak bekerja esok hari. Badannya
terasa sakit, kepalanya seperti dibenturkan berkali-kali, kesakitan yang sudah
ia rasakan selama tiga bulan tak kunjung membaik. Bahkan ia pun tidak dapat
berbuat banyak, ia hanya mampu menyelipkan obat penenang didalam perutnya.
Aninda berusaha sekuat tenaga mengajak kedua matanya untuk terpejam. Ia masih
ingin melihat dunia sampai Tuhan yang berkata lain.
***
Dua minggu
telah berlalu, pekerjaan akhir tahun dengan segala bentuk proyeksi yang akan di
realisasikan di tahun selanjutnya membuat Jabran melupakan sejenak masalahnya.
Lagipula Aninda pun meminta izin cuti selama 2 minggu. Tidak apa bagi Jabran
berpisah sementara dari Aninda, lagipula wanita malam yang bernama Angel pun
memberi saran seperti itu, toh pada dasarnya Tuhan telah menyiapkan jodoh
terbaik untuk setiap manusia yang ada dibumi ini, dan Jabran pun yakin bahwa
Aninda lah satu-satunya wanita yang akan menjadi istrinya kelak. Penolakan Aninda
bukan tanpa alasan, Jabran akan mencoba mengerti apapun alasannya. Yang pasti
ia akan setia menunggu Aninda sampai Aninda menyerah dan berkata “Oke, aku mau
jadi istrimu.” itulah penantian terbesarnya saat ini.
Hari ini
adalah hari terakhir Aninda cuti, Jabran berniat untuk memberikan surprise
untuk Aninda. Dia akan mendatangi kostan Aninda tanpa memberitahukan wanita
pujaannya. Dengan berdandan ala Leonardo de Caprio dan 1 bucket bunga mawar
putih kesukaan Aninda ditangan kanannya dia tampak gagah. Ditambah rasa PD nya
yang luar biasa, Jabran pun melangkah menuju kostan Aninda, tapi kamar Aninda
ia lihat gelap. Ibu kost yang sudah memperhatikan Jabran menghampiri Jabran
yang masih mematung didepan pagar.
“Nak jabran
ya?” Tanya ibu kost, ia sudah mengenali lelaki tampan itu.
“Iya ibu,
Aninda nya ada gak ya bu? Saya ingin kasih surprise nih.” Ucapnya jujur.
“Mari ikut
saya.” Ajak ibu kost, ia pun menuntun Jabran menuju kamar Aninda. Dan ketika
sampai didepan kamar Aninda ibu kost pun mengambil kunci yang ia kantongi.
“Loh, Aninda nya memang belum
pulang dari Solo bu?” Tanya Jabran heran, ibu kost pun hanya tersenyum. Setelah
kamar tersebut terbuka ibu kost segera menyalakan lampu, Jabran masih mematung
tak mengerti.
“Sini nak.” Ibu
kost meminta Jabran menghampirinya yang sedang berdiri dipinggir kasur milik
Aninda, sebuah amplop berwarna pink dan sebuah foto berada digenggamannya.
Jabran mendekati ibu kost perlahan. “Ini titpan dari Aninda.” Serunya kemudian.
Jabran pun mengambil amplop berwana pink dan foto tersebut. Ia tersenyum
sumringah saat melihat foto tersebut adalah foto dirinya yang berpose sangat
gagah, ia mengerti bahwa Aninda mencintainya. Penasaran dengan isi amplop pink
Jabran pun segera membuka isi amplop tersebut.
Dear Mr. J
Senang rasanya
mengenalmu, kalau masih ada kesempatan dan diperbolehkan, aku akan menjawab
pertanyaanmu tempo hari dengan jawaban : “Ya aku bersedia menjadi istri mu.”
Tapi… semua itu harus segera aku lupakan secepatnya.
Bagiku ikatan
pacaran tidak lah sama dengan ikatan pernikahan.Aku tak mungkin membuat mu
sakit menerima kenyataan bahwa pada akhirnya aku akan pergi untuk selamanya
disaat awal-awal pernikahan kita. Tiga bulan lalu aku memeriksakan diriku ke
dokter, dan dokter memvonisku mengidap leukimia stadium akhir. Sungguh aku tak
ingin sedikitpun melihat luka sayatan tertoreh dihatimu sebagai suamiku.
Tapi..aku lebih memilih menyakitimu yang hanya sebagai pacarku.
Maaf karena aku
tidak pernah memberitahukanmu tentang hal yang membuatku menolak pinanganmu.
Aku hanya
mencintaimu Mr. J, Always…
Aninda Rahayu
Jabran mulai
merasakan aliran darahnya terhenti, mawar putih yang berada digenggamannya tak
mampu lagi ia genggam. Luapan emosinya tak dapat terbendung, butiran air mata
yang selalu ia antikan untuk hal apapun mengalir dari kedua matanya yang indah.
Ia masih bungkam, termenung dan tidak percaya.
“Aninda sudah
meninggalkan kami sejak lima hari lalu.” Ucap ibu kost agak terisak.
Jabran kembali
bergulat pada perasaan bersalahnya, ia baru menyadari betapa tidak pekanya ia
terhadap orang yang ia cintai. Pantas lah jika Aninda tak mau menjadi istrinya,
Jabran tidak tanggap dengan apa yang dirasakan orang terkasihnya. Nasi seolah
menjadi bubur, Jabran tak mampu memupuk kekuatannya menjadi satu. Ia lemas, tak
mampu berkutik, tak mampu berkata apapun, hanya sebuah penyesalan yang dapat ia
torehkan didalam hatinya yang kini telah mati dan membeku.
Rupanya detak ini tak lagi
beraturan..
Sesekali berhenti dan
berteriak…
Menahan sesak
Menahan Sesal
Menahan kesakitan
Tak tahu akan seberapa kuat
Bertahan, dan terus mencoba
bertahan
Tapi keinginan ini melemah
dan berusaha menghentikannya.
Depok,
23 Desember 2011