Aku masih memandangi pergerakan
jarum jam yang sudah berada tepat pukul 19.30 WIB, sudah 30 menit lamanya aku
menunggu seseorang. Sesekali aku mendongakkan kepalaku melihat sisi pintu cafe
yang tampak lenggang. Tapi tak ku temui juga batang hidungnya. Ini bukanlah
kali pertamanya ia telat menemuiku, jadi aku berusaha untuk sabar menunggunya.
Secangkir cappuccino late telah
kuhabiskan sejak 20 menit lalu, aku terpaku pada layar handphoneku yang
memasang foto aku dan dia. Setahun, itu bukanlah waktu yang singkat untuk
saling mengenal, mengerti, berbagi dan memahami. Aku tersenyum simpul menatap
bingkai foto tersebut, akh… aku tak mau larut untuk saat ini.
Kupasang headphone untuk
mendengarkan musik dari handphoneku, kuputar lagu-lagu melankolis milik Agnes
Monica, lagu rindu terdengar syahdu ditelingaku. Aku memejamkan mata sejenak,
rasanya kali ini aku mulai larut. Ya aku merindukan sosoknya yang selalu
memperhatikanku, yang selalu bertanya tentang kabarku, yang selalu ada untukku
kapan pun aku butuhkan. Akh…, kenapa aku harus meneteskan air mata? Kecambuk
hatiku seperti berteriak meminta untuk didengarkan, meraung untuk menghentikan
rasa kesakitan.
“Hai.” Suara lembut itu menyapaku,
aku segera membuka mataku, menyeka sisa-sisa butir air mata yang masih menempel
di pipiku, dan melepaskan headphone yang masih menempel di kupingku. Pria itu
terdiam sejenak memperhatikanku, sepertinya ia tahu apa yang sedang ku
pikirkan. “Maaf, untuk sekian kali aku membuatmu menunggu.” Tambahnya, ia duduk
di sofa persis di depanku. Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya. “Kamu
marah denganku?” Tanyanya kemudian, membuat ku menatapnya sejenak dan seketika
ku buang pandanganku.
“Hhhhh…” Aku
menarik nafas panjang, dan aku kembali diam. Jujur saja aku bingung bagaimana
bicara dengan lelaki yang begitu ku sayangi. “Untuk apa marah? Bukankah sudah
sering aku menunggumu?” Ujarku kemudian, dengan senyum yang tersinggung di
bibirku, seperti menyindirnya. Bisa dibilang aku bosan mendengar kata-kata
seperti itu, ia selalu bertanya seperti itu jika aku terdiam, padahal tidak
selamanya diam ku itu karena aku marah.
“Ya aku tahu,
happy anniversary.” Ucapnya sambil meraih jemariku. Senyumnya terkembang
kepadaku. Happy anniversary, kata itu seperti kaku di ucapkannya. Ini memang
hari spesial antara aku dan dia, tapi tetap saja bagiku tidak ada yang special
hanya harinya saja yang terlihat spesial, dengan tanda love pada kalender ku
yang menandakan setahun hari jadianku dengannya.
“Kapan kamu menikahiku?” Spontan kata itu
terlontar dari lidah ku, dan ku perhatikan ia terlihat gugup, tangannya
perlahan melepas jemariku, bibirnya pucat seolah tak mampu berkata apapun. Aku
membuang pandanganku pada jendela terbuka dengan pemandangan lalu lintas yang
begitu penuh. Aku yakin Glen akan memberikan seribu alasan saat aku bertanya
hal seperti itu.
“Karin, aku
tahu kamu akan bosan mendengar penjelasanku yang sudah ku ulang berkali-kali.
Kamu ingat dengan kesepakatan kita kan? Aku pasti akan menikahimu Karin, tapi
tidak untuk sekarang. Semua itu butuh persiapan, aku mau acara terbaik kita
menjadi moment yang paling berharga, sacral dan sesuai dengan keinginanku. Kamu
kan tahu, aku sedang usaha untuk menuju kesana, aku janji pasti 2013 akan
menikahimu. Karena itu kan kesepakatan kita?” Glen menjelaskan, Glen memang
benar bahwa aku bosan dengan penjelasannya, walau dulu aku dan dia telah
sepakat untuk melaksanakan semua itu di 2013, tapi rasanya aku semakin takut
kehilangannya. Terlebih belakangan sikapnya mulai berubah, ia sudah jarang
menghubungiku, padahal sebelumnya ia selalu menghubungiku. Perhatiannya mulai
berkurang kepadaku, bahkan seminggu yang lalu aku menemukan sebuah foto wanita
tersimpan di folder handphonenya. Cemburu. Itu pasti, tapi ia beralasan bahwa
wanita itu adalah teman kerjanya yang tidak sengaja terfoto karena salah satu
rekannya menyukai wanita tersebut. Percaya atau tidak aku masih berusaha untuk
positive thinking kepada Glen. Pertanyaan yang kulayangkan kepadanya pun tidak
lebih karena aku takut kehilangan dirinya, mungkin Glen tidak memahami gerakku,
ia tak mampu membaca apa yang aku pikirkan. Lagi-lagi hanya butiran air mata
yang mampu memahami keperihan hatiku, keinginan batinku. Akh Glen, seharusnya
kamu tahu kegundahan hatiku.
“Glen, aku
rasa aku butuh waktu untuk menyendiri.” Tegasku, Glen terkejut mendengar
ucapanku. Ia menatapku lekat.
“Rin, kamu
jangan main-main! Inget Rin, kita telah merencanakan semua itu dengan baik. Aku
tak mau mengakhiri semua ini!” Aku bangkit dari dudukku, dan pergi
meninggalkanya tanpa sepatah kata. Glen berusaha untuk menahanku, tapi aku
tetap berusaha menuruti kemauanku.
Hujan deras
mengguyur kota malam itu, aku berusaha menembusnya dengan segala kekuatanku.
Air mata yang jatuh seketika terhapus oleh hujan, pun dengan kegelisahan yang
ku rasakan, aku yakin semua itu akan cepat ku lupakan. Glen… perlu kau ketahui,
aku mencintaimu.
***
Ibu terus memaksaku untuk makan, bukan…! Aku bukan
depresi karena telah memutuskan sendiri saat ini, tapi… aku hanya mulai gelisah
jika Glen benar-benar pergi meninggalkanku. Keputusanku beralasan, karena
dengan demikian aku bisa tahu seberapa besar keseriusan yang dimiliki oleh Glen
terhadap ku. Setelah malam itu, Glen berusaha menelponku berkali-kali, saat itu
aku sengaja tidak menerima telpon darinya, bahkan ponselku sengaja aku non
aktifkan. Dan sudah ku pastikan ketika aku bangun dan megaktifkan ponselku,
Glen mengirimi ku SMS lebih dari 10 kali.
“Karin, aku
minta maaf jika selama ini sering membuat mu kecewa. Sungguh, aku tak pernah
bermaksud untuk membuatmu kecewa, apalagi sakit hati. Karin, aku mohon…, kamu
yakin denganku! Aku sayang kamu Karin, tak ada wanita lain yang mampu mengisi
hatiku, aku ingin kamu yang menjadi pendamping hidupku kelak. Karin…, please
kamu pikirkan lagi keputusanmu. Kita punya cita-cita yang sama kan?”
Sepenggal SMS itu memenuhi layar handphone ku, aku
enggan untuk berkomentar. Semua itu menambah penat dikepalaku, aku pun tak
membalas SMS Glen. Malas. Memang aku terlihat sangat egois atas kemauanku, tapi
mau bagaimana lagi? Teman-temanku mulai bertanya akan datangnya hari itu,
terlebih mereka tahu aku dan Glen begitu harmonis, usia kami pun sudah
sama-sama cukup matang, jadi apalagi yang ditunggu? Hanya satu yang aku
pikirkan, kenapa Glen tidak berpikir hal yang sama denganku?
Arrrrrrggggghhhhh….!
***
Sudah seminggu semenjak hari itu, aku tak lagi
berjumpa dengan Glen, ia pun tak lagi menghubungiku. Sesekali aku mengecek
akunnya di jejaring sosial tapi hasilnya nihil, akunnya selalau non aktif, tak
ada status baru atau updatean apapun. Aku mulai gelisah, karena aku mulai
merindunya. Tetapi disisi lain, aku semakin ragu akan keseriusan Glen, karena
ia benar-benar pergi meninggalkanku. Glen…, mana janjimu? Ponselnya pun ku
hubungi tidak bisa, selalu berada di luar jangkauan. Sebenarnya apa yang
terjadi dengan Glen?
“Ohh
You.. You turn my whole life so blue, Drowning
me so deep, I just can reach myself again…., Ohh
You.. Successfully tore myheart Now
its only pieces Ohhh
Nothing left but pieces of you ….” Suara nada
dering itu sontak membuatku terkejut dari lamunanku. Aku segera mencari
ponselku yang entah ku geletakkan dimana, setelah ku temukan tertera sebuah
nomor baru di layar ponselku.
“Halo.” sapaku saat menekan dial pada layar handphone.
“Hai…” Suara itu menyapaku lembut, aku tersenyum
mendengar suara khas itu, tak terasa butiran air mata jatuh di kedua pipiku.
Haru, karena aku benar-benar merindunya. “Kau menangis?” Tanyanya kemudian.
Rupanya ia tahu apa yang kurasakan. Aku menggeleng, cukup lama aku terdiam,
antara perasaan senang, kesal, rindu semua tercampur jadi satu.
“Dasar gak punya perasaan!” Maki ku kemudian, masih
dalam keadaan menangis.
“Lho, kenapa sih sayang? Maaf ya honey, seminggu ini
aku tidak memberi kabar kepadamu, handphone ku hilang setelah terakhir aku SMS
kamu. Sedangkan mau beli pun aku tidak sempat, karena aku sedang sibuk
mempersiapkan tes untuk ikut job career di
kantorku. Tapi semua itu gak sia-sia kok, walaupun aku harus menahan rindu
kepada mu, hasilnya sungguh luar biasa untukku.” Glen menjelaskan, aku masih
tidak paham dan hanya mendengar ia berbicara panjang lebar. “Kau tahu sayang? Nanti
malam orang tua ku akan menemui orang tua mu, aku sudah bilang ke mama mu tadi
pagi. Dan sudah aku pastikan kita akan segera menikah dalam waktu dekat ini.”
Tambah Glen, berita itu membuat ku bahagia.
“Glen…” Aku menyebut namanya perlahan, segaris senyum
merekah di bibirku. Sungguh, surprise yang diberikan benar-benar luar biasa
bagiku, jujur saja,kalau Glen berbicara langsung padaku pasti akan ku peluk ia
dengan erat.
“Ettt…, kamu jangan senang dulu…! Karena setelah kita
menikah, kamu harus ikut aku ke Singapur.” Ujarnya, membuat aku bertanya ada apa
lagi ini? Ummm… mungkin Glen akan mengajakku honey moon.
“Lho kenapa? Kenapa gak di Indonesia saja? Di Bali
gitu?” Tanyaku, dengan keyakinan adanya honey moon.
“Hey, bukan bulan madu sayang. Tapi aku memenangkan
job career yang di adakan di kantor, dan aku di tunjuk sebagai manager cafe
yang ada di Singapur, mungkin kita akan menetap selama dua sampai tiga tahun.
Kamu bersedia untuk menemaniku?” Tanya Glen. Lagi-lagi hanya butiran air mata
yang bisa menunjukkan rasa bahagia di hatiku.
“Aku pasti menemanimu Glen.” Ujarku
“Karin, kamu harus tahu satu hal, menikah itu adalah
sebuah kepastian bagiku, hanya saja semua itu tinggal bagaimana kita untuk
mengusahakannya dan selalu sabar untuk menunggunya, aku gak akan main-main
dengan janjiku. Bagiku, saat ini lah yang tepat, karena aku sudah yakin dan
siap. Baik itu siap mental, fisik, pun dengan materi. Aku ingin membuatmu
bahagia jika hidup dengan ku kelak. Jadi aku berusaha untuk sukses sebelum
menikahimu, aku tahu kamu bete dengan semua sikapku yang lebih fokus dikerjaan,
aku juga tahu rasa bete kamu gak lebih karena kamu takut kehilangan aku, kamu
tahu? Aku pun rasakan hal yang sama. Sekali lagi aku beritahu kepadamu, bahwa
semua itu kulakukan hanya untuk kamu, yaaa just for you Karin.” Glen mengakhiri
ucapannya. Aku speechless mendengar Glen yang berpikir sejauh itu. Padahal
selama ini hanya sifat negative thinking saja yang ku tunjukan padanya. Glen
tak pernah main-main dengan ucapannya, dia benar-benar menjadikan ku sosok yang
special dalam kehidupannya.
“Glen…, aku mencintaimu.” Tuturku, dengan berlinang
air mata. I really love you Glen.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar