Kamis, 20 Juni 2013

Mawar Putih Akhir Tahun


             “Aku mencintaimu, maukah kau menjadi istriku?” Ungkapan itu terlontar dari seorang yang sangat dicintai Aninda. Tatapannya menyapa seisi ruang hatinya yang penuh dengan bunga mawar putih. Tapi gejolak darahnya seolah menolak dengan segenap keberaniannya yang lemah. Ia terdiam sesaat, sedangkan Jabran masih menunggu sebuah jawaban yang akan menjadi titik awal dari sebuah masa depannya.
“Maaf aku tidak bisa.” Ucap Aninda pelan.
“Kenapa?” Jabran membulatkan matanya tanda tidak percaya, kedekatannya dengan Aninda sudah lebih dari 2 tahun, dia telah menghabiskan banyak waktunya dengan wanita keturunan Solo itu, bahkan ia rela melakukan hal gila apapun agar Aninda tetap ceria.
“Aku gak bisa Ran..!” Tegasnya, ada sesuatu yang tertahankan ditenggorokkannya. Sepertinya kata tidak bisa tak mampu ia ucapkan dengan sempurna.
“Apa yang salah? Aku mencintaimu lebih dari apapun yang aku punya, kau tahu kan? Buat apa waktu dua tahun pacaran kita kalau pada akhirnya kamu tidak mau menikah denganku?” Protes Jabran. Emosinya mulai meluap, tapi ia berusaha setenang mungkin menghadapi wanita yang ia cintai. Aninda menggeleng, butiran air mata membasahi kedua pipinya. Jabran tambah tidak mengerti dengan apa yang terjadi. “Nin, please jawab aku…!” Jabran memohon dengan sangat tetapi Aninda masih terdiam.
“Aku mohon, mulai saat ini jangan pernah ganggu aku..!!” Serunya, seraya meninggalkan Jabran yang masih terpaku, Jabran terdiam dia berusaha  mengejar Aninda yang telah berlalu darinya, namun Aninda sudah lebih dulu menghentikan Taksi dan meninggalkannya seorang diri.
Diluar dari batas kesadarannya, Jabran menendang tempat sampah yang ada di taman tersebut. Kekesalannya membara seketika, kemudian ia pun mengejar taksi yang membawa Aninda, ia tidak lagi perduli dengan remuknya tong sampah dan sampah-sampah yang berserakan akibat ulahnya. Tapi sial.. taksi yang ditumpangi Aninda lebih cepat menerobos lampu merah ketimbang dia. Jabran tahu kalau Aninda pasti akan pulang ke Kostannya, tapi dari kejadian sore tadi sampai tengah malam ini Jabran tak menemukan wanita pujaannya dimanapun.
***
Malam yang pekat, bulan sabit yang memberikan cahaya pada malam ini tak mampu bertahan dengan kepulan kabut yang membayanginya. Suara bising kota Jakarta sudah tak terdengar lagi disepanjang jalan, walau sesekali masih terdengar suara ban yang bersentuhan dengan aspal menciut-ciut, tapi malan ini seolah hening. Lantunan musik keras dari beberapa bar dipinggir kota pun tidak begitu terdengar ditelinga Jabran, mungkin semua orang merasakan kesakitan yang dirasakan Jabran. Ia tersenyum puas menikmati kesendirian dan gundah hati yang tak berujung. Jabran pun mempercepat laju kemudinya, perasaannya benar-benar sakit menerima kenyataan pahit yang ia alami. Permainan cinta yang dibuat oleh Aninda cukup merobek-robek kekuatan hatinya hingga ia tak mampu merangkainya lagi.
“2 tahun aku menunggumu, tapi apa yang kau lakukan? Kau menarik ulurnya hingga putus dan berantakan.” Makinya.  Sesekali ia  memukul-mukul setirnya, luapan amarah yang tak bisa ia kendalikan mampu memecahkan segala isi otaknya. “Kenapa Aninda? Kenapa? Bukti apa lagi yang harus aku tunjukkan kepadamu…!!” Tambahnya dengan nada tak kalah tinggi, mengalahkan deruan mesin mobil yang ia kendarai. Semuanya terasa campur aduk didalam dadanya. Jabran menambah kecepatan kemudinya, kota mulai lenggang jam 02.00 WIB dini hari, dari kejauhan Jabran melihat sekelompok wanita dipinggiran jalan, beberapa diantara mereka sibuk menstop mobil-mobil yang melintas didepan mereka.
Jabran pun menghentikan lajunya pada seorang wanita mungil yang tengah asyik mengobrol bersama rekan-rekan seprofesinya. Kejadian tadi siang tak mampu membuatnya diam, dia butuh teman untuk ngobrol dan mencurahkan unek-uneknya. Dia sadar sekali sahabatnya Nino tak akan bisa memberikan solusi bahkan yang ada Jabran lah yang dimaki-maki Nino jika terus membicarakan Aninda. Lagipula Nino sedang di Surabaya, kemana lagi dia akan menceritakan keluh kesahnya? Bagi Jabran tak ada yang berharga selain Aninda didunia ini, bahkan ia rela mati demi wanita yang ia cintai. Dalam hidupnya ia hanya mengenali Aninda dan Nino, sedangkan orang tuanya? Ia tak pernah mengenalnya, karena kesibukan mereka mengurusi klien-klien bullsit yang selama ini bermulut manis. Baginya, orang tuanya tidak pernah menganggap Jabran dan Aji adiknya ada. Tapi Jabran bersyukur karena masih ada Nino dan Aninda yang baik dan mau menemaninya, Aji adik semata wayang Jabran lebih menyedihkan karena dunia malam lebih banyak mengambil waktunya dibandingkan untuk sekolah. Beberapa kali Jabran menegur Aji, tapi selalu tidak diperdulikan dan ia pun mulai bosan dan tidak memperdulikan adiknya yang bangor itu.
“Hai tampan.” Sapa wanita mungil itu, dia mendekati fortuner putih milik Jabran, di tonggakkan wajahnya di jendela mobil Jabran.
“Berapa tarifmu untuk mengobrol selama 3 jam?” Tanya Jabran, dia membuang pandangan keluar jalanan.
“Satu juta.” Ucapnya kemudian.
“Saya menyewa kamu bukan untuk mesum, tapi saya hanya butuh teman untuk mengobrol.” Jabran menjelaskan dengan tegas. Ia pernah mendengar dari Nino kalau wanita-wanita malam seperti itu memang terkadang memasang tarif tinggi untuk kebutuhan sex, tapi dia berjanji kalau dia tidak akan menyentuh wanita itu sedikitpun karena walau bagaimanapun Aninda tetap nomor satu dihatinya.
“Oke, buat langganan setengahnya deh.”  Ujarnya dengan wajah manis. Jabran pun memberi kode ke wanita tersebut untuk masuk kedalam mobilnya. Ia pun meninggalkan deretan wanita malang yang masih menunggu beberapa lelaki hidung belang.
                                   ***
Mimpi buruk itu kembali datang menghampirinya, ketakutan akan hari itu kembali menyerangnya, tubuhnya menggigil kedinginan. Ditariknya selimut hingga mencapai lehernya, Ia tak tahu kepada siapa meminta bantuan. Kamar kost yang ia huni seorang diri seoalah tak lagi bersahabat dan memberikan kenyamanan bagi dirinya. Tanpa disadari tangisnya pun meledak ketika mengingat sosok pria yang ia cintai. Ia telah melukai hati seseorang yang amat mencintainya, ia sadar apa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan terbesar, tapi ia pun lebih mengetahui hal terburuk yang akan terjadi jika dia menerima pinangan Jabran. Dia lebih tidak rela jika Jabran nantinya akan menyesal karena sudah memilihnya sebagai istri.
Aninda mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Jabran, hari pertama ia masuk kerja Jabran sudah mengerjainya dengan memintanya menyeduhkan kopi selama satu minggu, belum lagi bawelnya jabran sebagai pimpinan membuatnya mengajukan resign setelah 1 bulan berkerja. Anehnya Jabran selalu menolak surat permohonan resign Aninda, dari situ lah Aninda mengetahui bahwa sebenarnya Jabran sengaja, ia ingin Aninda selalu bersamanya. Dan Jabran lah sosok misterius yang dicari Aninda, dia lah orang yang rajin menaruh mawar putih kesukaan Aninda setiap pagi dimeja kerjanya. Tidak hanya itu saja, Jabran pun punya keahlian dalam bercerita, Jabran lah yang mampu membuat Aninda tertawa sampai terpingkal, bahkan Jabran membuat Aninda melupakan segala cemooh orang lain akan dirinya yang sering disebut Freak dan Autism. Ia pun bisa melupakan trauma yang ia alami, kehilangan kedua orang tuanya ketika berusia 8 tahun adalah hal tersakit yang pernah Aninda rasakan, untung masih ada nenek yang menjaga dan membesarkannya hingga ia mampu mendapatkan gelar S1, bagi gadis kampung seperti Aninda pendidikan SMA sudah amat bagus, bagaimana dengan S1?  Dan Jabran lah yang membuatnya membuka mata untuk melihat betapa indahnya dunia. Semua kenangan akan Jabran masih melekat dalam rongga-rongga hatinya yang mulai berkarat.
Aninda berusaha menutup mata kembali, ia memutuskan untuk tidak bekerja esok hari. Badannya terasa sakit, kepalanya seperti dibenturkan berkali-kali, kesakitan yang sudah ia rasakan selama tiga bulan tak kunjung membaik. Bahkan ia pun tidak dapat berbuat banyak, ia hanya mampu menyelipkan obat penenang didalam perutnya. Aninda berusaha sekuat tenaga mengajak kedua matanya untuk terpejam. Ia masih ingin melihat dunia sampai Tuhan yang berkata lain.
***
Dua minggu telah berlalu, pekerjaan akhir tahun dengan segala bentuk proyeksi yang akan di realisasikan di tahun selanjutnya membuat Jabran melupakan sejenak masalahnya. Lagipula Aninda pun meminta izin cuti selama 2 minggu. Tidak apa bagi Jabran berpisah sementara dari Aninda, lagipula wanita malam yang bernama Angel pun memberi saran seperti itu, toh pada dasarnya Tuhan telah menyiapkan jodoh terbaik untuk setiap manusia yang ada dibumi ini, dan Jabran pun yakin bahwa Aninda lah satu-satunya wanita yang akan menjadi istrinya kelak. Penolakan Aninda bukan tanpa alasan, Jabran akan mencoba mengerti apapun alasannya. Yang pasti ia akan setia menunggu Aninda sampai Aninda menyerah dan berkata “Oke, aku mau jadi istrimu.” itulah penantian terbesarnya saat ini.
Hari ini  adalah hari terakhir Aninda cuti, Jabran berniat untuk memberikan surprise untuk Aninda. Dia akan mendatangi kostan Aninda tanpa memberitahukan wanita pujaannya. Dengan berdandan ala Leonardo de Caprio dan 1 bucket bunga mawar putih kesukaan Aninda ditangan kanannya dia tampak gagah. Ditambah rasa PD nya yang luar biasa, Jabran pun melangkah menuju kostan Aninda, tapi kamar Aninda ia lihat gelap. Ibu kost yang sudah memperhatikan Jabran menghampiri Jabran yang masih mematung didepan pagar.
“Nak jabran ya?” Tanya ibu kost, ia sudah mengenali lelaki tampan itu.
“Iya ibu, Aninda nya ada gak ya bu? Saya ingin kasih surprise nih.” Ucapnya jujur.
“Mari ikut saya.” Ajak ibu kost, ia pun menuntun Jabran menuju kamar Aninda. Dan ketika sampai didepan kamar Aninda ibu kost pun mengambil kunci yang ia kantongi.
“Loh, Aninda nya memang belum pulang dari Solo bu?” Tanya Jabran heran, ibu kost pun hanya tersenyum. Setelah kamar tersebut terbuka ibu kost segera menyalakan lampu, Jabran masih mematung tak mengerti.
“Sini nak.” Ibu kost meminta Jabran menghampirinya yang sedang berdiri dipinggir kasur milik Aninda, sebuah amplop berwarna pink dan sebuah foto berada digenggamannya. Jabran mendekati ibu kost perlahan. “Ini titpan dari Aninda.” Serunya kemudian. Jabran pun mengambil amplop berwana pink dan foto tersebut. Ia tersenyum sumringah saat melihat foto tersebut adalah foto dirinya yang berpose sangat gagah, ia mengerti bahwa Aninda mencintainya. Penasaran dengan isi amplop pink Jabran pun segera membuka isi amplop tersebut.
Dear Mr. J
Senang rasanya mengenalmu, kalau masih ada kesempatan dan diperbolehkan, aku akan menjawab pertanyaanmu tempo hari dengan jawaban : “Ya aku bersedia menjadi istri mu.” Tapi… semua itu harus segera aku lupakan secepatnya.
Bagiku ikatan pacaran tidak lah sama dengan ikatan pernikahan.Aku tak mungkin membuat mu sakit menerima kenyataan bahwa pada akhirnya aku akan pergi untuk selamanya disaat awal-awal pernikahan kita. Tiga bulan lalu aku memeriksakan diriku ke dokter, dan dokter memvonisku mengidap leukimia stadium akhir. Sungguh aku tak ingin sedikitpun melihat luka sayatan tertoreh dihatimu sebagai suamiku. Tapi..aku lebih memilih menyakitimu yang hanya sebagai pacarku.
Maaf karena aku tidak pernah memberitahukanmu tentang hal yang membuatku menolak pinanganmu.

Aku hanya mencintaimu Mr. J, Always…

Aninda Rahayu

Jabran mulai merasakan aliran darahnya terhenti, mawar putih yang berada digenggamannya tak mampu lagi ia genggam. Luapan emosinya tak dapat terbendung, butiran air mata yang selalu ia antikan untuk hal apapun mengalir dari kedua matanya yang indah. Ia masih bungkam, termenung dan tidak percaya.
“Aninda sudah meninggalkan kami sejak lima hari lalu.” Ucap ibu kost agak terisak.
Jabran kembali bergulat pada perasaan bersalahnya, ia baru menyadari betapa tidak pekanya ia terhadap orang yang ia cintai. Pantas lah jika Aninda tak mau menjadi istrinya, Jabran tidak tanggap dengan apa yang dirasakan orang terkasihnya. Nasi seolah menjadi bubur, Jabran tak mampu memupuk kekuatannya menjadi satu. Ia lemas, tak mampu berkutik, tak mampu berkata apapun, hanya sebuah penyesalan yang dapat ia torehkan didalam hatinya yang kini telah mati dan membeku.
Rupanya detak ini tak lagi beraturan..
Sesekali berhenti dan berteriak…
Menahan sesak
Menahan Sesal
Menahan kesakitan
Tak tahu akan seberapa kuat
Bertahan, dan terus mencoba bertahan
Tapi keinginan ini melemah dan berusaha menghentikannya.
Depok, 23 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar